What have you done
Hari yang melelahkan. Benar-benar butuh refresment hari itu. Kulihat Oghe begitu menikmati tugasnya sebagai bartender. Terus terang aku tahu bahwa namanya Oghe hanya dari struk pembayaran. Hanya beberapa kalimat “Black Label double” pernah kuucapkan sebagai komunikasi nyata antara aku dengannya.
Malam itu malam minggu. Hard Rock Cafe cukup ramai. Tempat ini sejarah bagiku. Paling tidak aku kehilangan keperjakaanku gara-gara tempat ini beberapa tahun lalu. Suasana yang hiruk-pikuk di sana bukan merupakan gangguan pada penatnya tubuhku yang bukan main, sehabis dicabik-cabik seharian oleh monster-monster kapitalis lapar itu.
Memang sebagian orang menyangka hidupku enak, mungkin bukan sebagian, hampir setiap orang yang mengenalku lebih dari seminggu berpendapat demikian.
Star TV di pojokan bar menampilkan balap sepeda yang tidak berujung pangkal. Bule-bule itu minum dan tertawa, ditemani wanita mereka yang tidak kalah menggelikannya. Kadang-kadang aku berpikir dibayar pun tidak mau aku untuk tidur dengan mereka dengan wajah mengerikan yang mereka miliki. Buat mereka life style seperti ini murah bukan main. Uang kita bagai setumpuk kertas gurauan dengan angka nol berderet-deret.
Pukul 2 lewat. Kepalaku sudah berat. Hampir setengah botol kutenggak black label dari si Oghe. Gawat pikirku. Aku benar-benar tidak kuat untuk stir mobilku. HRC hampir tutup. Setelah tarik urat syaraf sebentar karena kartu ajaibku tidak mau digesek, akhirnya aku terbebas setelah mereka mengawalku ke mesin ATM di Sarinah bawah. Memang ini hari sialku.
Apa tidak ada yang bisa bikin aku lebih sial lagi? Kepalaku sudah berat bukan kepalang. Aku termenung sejenak berjongkok di depan mesin ATM itu.
“Hey Ricky.”
Aku mendongakkan kepala. Kulihat sebuah Honda Civic berhenti di depanku. Felly menampakkan wajahnya di jendela belakang. Mobil itu penuh dengan manusia. Hampir setengah lusin dengan perbandingan yang tak jelas antara pria dan wanitanya.
Felly akhirnya turun dari mobil dan berjalan ke arahku.
“Hey, kenapa lo?”
“Hhh, nggak apa-apa,” jawabku sambil berusaha berdiri dan menegak-negakkan badan. “Hanya sedikit over drive.”
“Elo sendirian?”
Kujawab dengan anggukan lemah.
“Lo bawa mobil?” Ia menatapku cemas.
“He eh.”
“Tunggu di sini sebentar.” Ia berkata itu lalu berjalan menuju kawan-kawannya. Entah apa yang mereka bicarakan di sana.
Felly ini gadis baik. Pernah dengan setianya menemaniku beberapa tahun. Entah apa kurangnya gadis cantik ini hingga aku menyia-nyiakannya. Serong kiri kanan, cari di luaran. Main dobel. Sampai-sampai sempat aku berpacaran dengan 2 wanita lain sekaligus ketika aku berpacaran dengannya. Sampai ia tidak tahan dan memutuskan aku 2 tahun yang lalu. Sejak itu aku tak tahu kabar beritanya.
Entah apa yang dibicarakannya dengan teman-temannya. Yang jelas semenit kemudian ia telah kembali dan berusaha merangkulku. Terus terang untuk berdiri pun aku sulit saat itu. Ia memapahku berjalan menuju mobilku. Entah kapan ia mengambil kunci wrenglerku. Atau ia sekarang punya kepandaian mencopet?
Tahu-tahu aku didudukkan di bangku kiri. Ia sendiri kemudian mengambil duduk di bangku kanan dan mulai mengemudi. Kami keluar di jalan Sunda terus menuju Thamrin. Aku tertidur.
Jam 8 pagi aku terbangun. Panas, itu yang kurasakan. Matahari pagi begitu terik. Sejenak aku linglung. Detik berikutnya baru aku sadar di mana aku. Di Carport. Tapi rumah siapa ini? Rumah Felly?
Belum habis keherananku, tiba-tiba ada ketukan di kaca jendelaku. Seorang wanita tua berusaha berbicara denganku. Kubuka kaca jendela.
“Den ditunggu non Felly, katanya aden disuruh masuk.”
“Iya Bik.”
Aku merapihkan pakaianku, berjalan mengikuti bibik tua itu ke dalam.
“Silahkan duduk Den.”
Aku duduk di ruang tamu. Lima menit aku terbengong-bengong sendiri. Sampai akhirnya Felly keluar dari kamarnya. Segar. Tampaknya ia baru selesai mandi. Dengan mengenakan daster pendek jauh di atas lutut model tank top. Aku tidak tahu namanya, menurutku itu daster.
Tampak dewasa sekali ia. Sangat berbeda dengan ketika kukenal ia 2 tahun yang lalu.
“Udah bangun?”
Kuberikan senyumku yang termanis.
“Masih saja jadi petualang,” katanya sambil duduk di hadapanku, “Tapi masih tetap seperti dulu. Tanpa perhitungan.”
Senyumku berubah kecut.
“Anyway, apa artinya aku ini. Sudah capek aku menasehatimu, tapi kelakuannmu tidak juga berubah.”
“Okay Fel, Thanks and sorry for every trouble you got,” kataku sambil bediri, bersiap untuk pulang.
Ketika melewatinya ia menangkap tanganku. Gosh, these girls are so easy.
“Duduklah dulu, kopimu sedang dibuatkan.”
Masih pura-pura lesu, aku kembali ke tempat duduk asalku.
“Kamu kenapa lagi Rick?” Felly bertanya dengan lembut.
Ini yang kusukai dari cewek-cewek itu. Mereka punya hati. Sebenarnya tidak ada apapun yang mengganggu pikiranku. Aku bukan remaja frustasi yang melarikan diri ke dalam alkohol. Malah sebenarnya aku hanyalah Social Drinker yang hanya kebetulan agak terlalu social semalam. Aku masih jauh dari garis alkoholik. Tapi sengaja aku membuat diriku seolah-olah seorang yang sedang dalam trauma psikis yang hebat. Aku duduk. Menunduk lesu. Selama pacaran dengannya, ia sama sekali tidak tahu kalau aku suka minum.
“Sejak kapan kamu minum Rick?”
Aku tidak menjawab. Kubuat sikapku persis seorang remaja putus asa akibat problem rumah tangga menahun.
“Ok Ricky, photomemek.com Biar bagaimanapun.. kamu pernah menjadi seseorang yang sangat berarti bagiku,” ia terdiam sebentar.
“Rick, aku harus pergi sekarang,” ia diam sejenak, “Nanti sore kau boleh telepon aku.”
“Thanks Fell,” aku berdiri mendekat, kukecup keningnya dan kutinggalkan ia.
Kutinggalkan rumahnya menuju rumahku.
Ini yang kuheran. Sudah lama sebenarnya aku bosan dengannya. Tapi mengapa setiap ketemu dengannya aku selalu merasa membutuhkannya. Dulu waktu kami masih pacaran hampir selusin kali kami bubar dan balik lagi. Selalu saja kami gagal bubaran kalau kami saling bertemu. Dan sekarang kejadian lagi. Aku merutuki diriku sendiri. Ada apa sebenarnya dengan dirinya? Permainan Sex-nya? Tidak juga. Banyak cewek-cewekku yang jauh lebih menarik untuk kuajak ke tempat tidur. Entah mengapa aku tidak dapat lepas darinya.
Kalau aku tidak bertemu dengannya, tidak ada sama sekali rasa kehilangan atau kangen atau apalah namanya. Tapi entah mengapa hatiku (Sebagian temanku bilang aku tidak punya.. -Mereka Salah-) luluh kalau berhadapan dengannya.
Hari Senin di kantor.
“Pak Ricky, telepon dari Felly,” Indri, sekretarisku di interkom.
Felly lagi. Bisa berkepanjangan kalau aku bicara dengannya. Terus terang hal terakhir yang kubutuhkan saat ini adalah berbicara dengannya.
“Bilang aku sedang keluar kantor,” balasku di interkom, “Kamu ke sini sekarang, jangan lupa kunci pintu kalau masuk.”
“Ah, Bapak.”
Indri sekretaris terbaik yang kumiliki. Selain kapabilitasnya yang terjamin, blow job-nya juga bukan main. Tidak sampai satu menit ia sudah masuk dan mengunci pintu ruanganku. Mungkin a quicky morning akan melupakan Felly. Ia selalu sengaja memakai baju-baju kerja yang menonjolkan keindahan tubuhnya. dengan dada berukuran 34B. Tinggi 168 cm, berat proporsional dan sebuah fitnes center dengan rajinnya memahat tubuhnya beberapa kali dalam seminggu.
Setelah sampai di dekatku, aku memutar kursiku hingga menghadap ke samping. Kutarik tangannya ke selangkanganku. Ia tersenyum lalu berjongkok dan membuka ritsluiting celana panjangku. Dimasukkannya tangannya ke dalam celana dalamku, lalu ditariknya penisku, kemudian dikeluarkannya.
Ia mulai menjilatinya dengan pelan-pelan, lalu mengulum-ngulumnya sambil mengocok-ngocoknya, dihisap-hisapnya sambil matanya menatap ke wajahku, aku sampai merem melek merasakan kenikmatannya. Kususupkan tangan kananku ke balik kaus dalamnya, masuk ke dalam BH-nya. Buah dadanya yang berukuran sedang tapi padat, kuremas-remas sambil ia terus menghisap-hisap penisku yang semakin menegang.
Kuangkat kepalanya. Kucium bibirnya beberapa saat. Sambil menyingkap roknya yang pendek. Penisku hanya kuselipkan di antara celana dalamnya. Dan ia mulai menduduki penisku. Lalu aku mulai pelan-pelan memasukkan penisku ke liang surganya yang mulai basah. Ia mengerang kenikmatan. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Sambil dia maju-mundur, penisku seperti diremas-remas, dikocok-kocok, dipelintir-pelintir.
Sepuluh menit kami berada dalam posisi seperti itu. Aku merasa sudah tidak tahan lagi. Akhirnya aku meledak. Setelah ia merapihkan celanaku, ia membereskan pakaiannya sendiri yang berantakan. 15 menit dan ia telah duduk kembali di mejanya.
Pukul 12.00 waktu makan siang. Aku sudah beres-beres ketika interkom itu berbunyi lagi.
“Telepon Pak Ricky, dari Felly.”
Shit..! Benar-benar aku ingin menghindar darinya.
“OK, sambungkan..!” Entah mengapa lidahku sulit diajak kompromi kalau sudah soal Felly.
“Hallo, Ricky, kamu kemaren kemana? Katanya mau telepon.” Langsung nyerocos tanpa titik koma.
“Aku sekarang ada di Lobby bawah, gimana kalau kita makan siang?”
“Sorry Fell, kemaren ada trouble di server di Singapore,” Aku menghela napas, “Ok 10 menit lagi aku ada di Lobby bawah.”
Senang? Bingung? Kangen? segala macam perasaan bercampur aduk di kepalaku. Aku berpikir bahwa apa yang kulakukan dengan Indri tadi pagi dapat melupakan semuanya. Ternyata tidak. 2 tahun yang lalu aku pikir aku sudah terbebas darinya. Ternyata..?
Tidak ada yang jelek dari Felly. Hanya bosan. Itu saja. Mungkin benar apa yang diriset oleh siapa namanya, aku lupa, yang jelas pernah di-film-kan dengan judul “Someone Like You”, bahwa kebiasaan sapi yang tidak mau mengawini sapi betina yang pernah di fertilisasi olehnya berlaku pada manusia.
Akhirnya kami makan siang bersama. Setengah jam kemudian aku telah lupa bahwa aku sudah tidak ingin lagi bertemu dengan Felly. Yang ada di otakku adalah bagaimana caranya membujuk Felly untuk mau menemaniku di tempat tidur nanti malam. Itu saja. Omongannya yang menceritakan pengalaman dua tahun berpisah denganku tidak kudengarkan.
Akhirnya acara makan siang selesai jam 14.00 dengan janji kami bertemu lagi nanti sepulangku dari kantor. What I need now is you in my bed.
Jam 14.30 aku kembali ke kantor. Dicemberuti oleh si Indri. Dia selalu cemberut kalau aku keluar bersama cewek. Tapi dia menyadari bahwa apa yang ada pada kami bukanlah cinta. Dan kami pernah membicarakan hal itu.
Jam 15.00 ditelan kesibukanku, aku telah melupakan Felly. Kisah anjing makan anjing lebih menarik bagiku. Tidak ada niat sedikitpun untuk menindak lanjuti pembicaraan kami. Sampai jam 5 sore, waktu karibku menelpon aku malah buat janji dengannya untuk clubbing di Zanzibar. Yang aku tidak habis pikir, besok bila Felly menelponku, aku akan memberinya sejuta alasan masuk akal tentang kemangkiranku dan dia akan memaafkan. Itu yang ada di otakku. Entah aku yang terlalu cerdik atau dia yang terlalu tolol. Ataukah memang Love is Blind.
Singkat cerita kami berempat dengan teman-temanku ke Zanzibar. Ketiga temanku berhasil mendapatkan DFA di sana. Aku juga dapat sebenarnya. Tapi entah mengapa aku tidak tertarik padanya. Dan teringat Felly. Segera kutinggalkan teman-temanku dan menuju rumahnya.
Jam 23.00.
Keterlambatanku dengan selalu menyalahkan kapitalis-kapitalis rakus itu, dimaafkannya dengan mudah. Bahkan ia tidak sadar bahwa aku telah berganti pakaian dengan waktu bertemu tadi siang. Kami mengobrol panjang lebar hingga tengah malam. Akhirnya dapat ditebak. I took her to the bed. Entah bagaimana ceritanya, kami ‘jadian’ lagi. Malam itu begitu indah. Entah mengapa rasanya lain sekali tubuhnya malam itu. Aku merasa benar-benar mencintainya. Tidak dapat dipungkiri.
3 kali kami melakukannya malam itu. Sampai pagi. Dengan janji kami jalan bareng lagi. Jam 6 pagi aku meninggalkan rumahnya. Baru 2 km dari rumahnya, aku memukul-mukulkan tanganku ke stir mobil ini. “What have you done you moron. Leave her Alone..!”
Tamat
,,,,,,,,,,,,,,,,,,