Mandi Disumur Tua Pembawa Nikmat
Mandi Disumur Tua Pembawa Nikmat
Saya Aidit kembali akan lanjutkan cerita saya sebelumnya yang berjudul “Bonus Belajar Bersama”, karena banyaknya teman-teman yang tertarik dan menanyakan mengenai kelanjutan hubungan saya dengan si “Sari”.
Berhubung Karena banyaknya teman-teman yang penasaran ingin mengetahui hubungan saya dengan Sari lebih jauh setelah peristiwa di di atas selembar papan pada malam itu, maka demi mengobati rasa penasaran teman-teman, tak ada salahnya saya ceritakan, sebab memang hubungan saya dengan Sari tidak berakhir sampai di situ, melainkan justru meningkat. Entah berapa kali saya berusaha untuk melakukan hubungan badan dengan Sari, namun selalu gagal.
Saya dan si Sari sudah saling memahami dan satu rahasia. Karenanya, selaku manusia normal yang masih muda tentu saja tidak aneh jika kami memiliki keinginan untuk mengulangi peristiwa dahsyat yang luar biasa kenikmatannya itu. Kecenderungan seperti itu adalah fitrah bagi setiap manusai, di mana selalu ingin merasakan kembali suatu kenikmatan yang telah dialaminya, meskipun kesannya tentu jauh berbeda dengan yang pertama kali.
*****
Singkat cerita, sekitar 4 hari dari kejadian yang pertama itu, kami kembali sepakat sewaktu berjalan bersama pada saat kami pulang dari sekolah untuk bangun lebih pagi lagi dan kami sepakat ketemu di sumur jam 4.00 wita. Namun, Sari nampaknya tepat waktu, ia tiba di sumur tua di tengah-tengah sawah yang pernah saya sebutkan dalam episod cerita saya yang lalu, sementara saya tiba di sumur itu jam 4.30 subuh hari itu karena agak terlambat bangunnya. Maklum saya tidur larut malam setelah tukar pikiran di pos ronda bersama para tukan ronda di kampung saya malam itu.
Awalnya Sari memang agak kesal menunggu lama, bahkan ia telah selesai mandi, namun masih mencuci beberapa lembar pakaiannya yang sebenarnya belum terlalu kotor dan tidak direncanakan akan dicuci, tapi hanya sekedar alasan kalau-kalau ada warga yang kebetulan mendapatinya sedang menunggu di sumur itu. Tentu saja sebelum ia mengeluarkan kata-kata kesalnya, saya segera mengucapkan permintaan maaf atas keterlambatan saya.
“Mengucapkan maaf itu memang mudah, tapi saya ini selain kedinginan juga malu kalau-kalau ada orang lain melihat saya sendirian di sumur pada subuh hari,” katanya setelah saya minta maaf padanya.
Untuk mengobati kekesalannya Sari itu, tanpa aba-aba saya langsung memeluknya dan mengecup sedikit pipinya, dalam hati saya biar ia merasa lebih hangat. Saya tentu lebih berani melakukan hal itu, karena saya sudah yakin ia pasti senang dan tidak bakal menolak sebab kami telah melakukan di rumahnya lebih dari sekedar memeluk tubuhnya yang langsing itu. Ia pun pasrah tanpa reaksi apa-apa merasakan hangatnya pelukan saya itu, mungkin dia masih agak malu-malu membalas pelukanku, maklum sikap seperti itu sudah merupakan fitrah bagi setiap wanita, apalagi dia masih gadis. Pelukan saya itu tidak berlangsung lama karena dia nampaknya agak minder, sehingga tidak berani memberikan reaksi yang sama.
Setelah saya lepaskan pelukan itu, dia pun beranjak duduk di pebukitan pinggir sumur dan saya segera menuju sumur buat mandi dan langsung melepas semua pakaian saya tanpa selembarpun tersisa di badan saya, lalu menyiramkan air ke seluruh tubuh saya tanpa peduli bahwa secara diam-diam si Sari terus memperhatikanku. Sikap Sari itu sebenarnya saya sadari, tapi saya pura-pura tidak memperhatikannya dan membiarkan saja menikmati pemandangan yang ada pada tubuhku, lagi pula kan kami sudah saling mencintai dan tidak mustahil juga dia merindukan untuk kembali menikmati peristiwa di atas selembar papan di rumahnya itu.
Ketika saya sedang mandi, nampaknya diam-diam ia memperhatikanku, maka saya sengaja menggocok-gocok penis saya dengan sabun agak lama tanpa menoleh sedikitpun padanya, biar ia puas memandanginya tanpa perasaan malu dari saya. Saking asiknya dia memandangi alat vitalku yang saya gocok terus itu, sehingga tanpa kami sadari ternyata di belakang Sari ada wanita setengah baya berdiri memperhatikan sikap kami berdua sejak tadi, bahkan ikut menyaksikan dan menikmati tontonan menarik yang saya peragakan di tepi sumur itu. Ternyata yang berdiri itu adalah Mamanya Sari (tak perlu saya sebutkan namanya) yang menyusul anak pertamanya itu ke sumur karena takut terjadi apa-apa pada diri Sari. Apalagi baru kali ini Sari terlalu pagi ke sumur dan agak kelamaan pulangnya, sehingga tentu saja sebagai orang tua yang menyayangi anaknya ia segera saja menyusulnya.
Belakangan baru saya ketahui bahwa Mamanya Sari itu belum pernah menyaksikan secara jelas sebelumnya pemandangan seperti yang saya peragakan di pinggir sumur itu, bukan hanya aksi saya tapi juga barang berharga yang tergantung di selangkangan saya, sebab ternyata setiap ia bersetubuh dengan suaminya selalu dalam keadaan tertutup pakaian tanpa ada rangsangan pendahuluan, dan itupun dilakukannya rata-rata pada tengah malam setelah anak-anaknya diyakini pada tidur nyenyak semua.
Ketika saya sadar bahwa Mamanya Sari sejak tadi berdiri menyaksikan sikap kami, saya segera meraih sarung yang letaknya tidak jauh dari tempat saya berdiri, lalu segera membalutkan ke tubuh saya yang bugil itu, dan berusaha secepatnya pergi meninggalkan Sari yang berdiri bersama Mamanya sekitar 2 meter dari pinggir sumur itu. Saya sama sekali tidak mampu mengeluarkan suara sedikitpun, mulut saya tiba-tiba seolah terkunci dan demikian pula halnya si Sari yang hanya berdiri agak gemetaran di samping Mamanya itu.. Ia tak mampu melangkahkan kaki, apalagi berbicara.
Ketika saya bergegas pulang dan melangkah sekitar 7 m dari tempat Sari dan Mamanya berdiri, tiba-tiba.
“Aidit.., koe jolo iko..! (sini dulu kamu..!)” demikian bentakan Mama si Sari pada saya dalam bahasa daerah kami.
Suaranya lantang, keras dan runcing sekali membuatku tersentak dan takut sekali jika ia marah dan melaporkan kejadian ini pada suaminya, orang tuaku, warga kampung dan.. Pokoknya rasa takutku luar biasa pada waktu itu melebihi rasa takutku pada orang tuaku sendiri ketika beliau marah padaku. Suaranya keras bagaikan petir dan seteron yang menyengat sekujur tubuhku. Mukanya merah kehitaman seperti orang habis dipukul dan ingin balas dendam.
Tanpa suara sedikitpun, saya pelan-pelan mendekatinya dan pasrah menerima segala hukuman yang akan dijatuhkan atas sikap kami berdua tadi, yang kurang senono menurut pandangan masyarakat di kampungku.
“Tongentongeng pada ikotu massifa olok-oloko, asu..! (Kalian ini betul-betul bersifat binatang, anjing..!)”.
Kata ibunya Sari lebih lanjut setelah saya berada sekitar 2 m di depannya sambil menunjuk muka saya.
“Addampengakka puang, tappasalaka kasi, (maafkan kami bu, kami khilaf)”.
Begitulah kata-kata saya di depannya dengan bahasa daerah yang sama sambil sedikit berbungkuk sebagai tanda kesopanan dan penghargaan saya padanya.
“Maupe’ko tu ia bawang mitako, tania tahu laingnge, magani kira-kira nakko engka tahu lain mitako atau missengngi gaunu nye, apalagi bafa’nu, naulle kafang nauno manekko” peringatannya lebih lanjut seolah menasehatiku.
Maksudnya bahwa “Untung hanya saya yang melihatmu atau mengetahuimu, tidak ada orang lain, kira-kira apa jadinya jika ada orang lain yang melihat dan mengetahuimu, apalagi bapakmu, mungkin ia membunuh kalian”.
Suara dan warna mukanya mulai sedikit normal. Setelah itu, saya disuruh pulang dengan cepat agar saya tidak terlambat ke sekolah, apalagi sudah mulai berdatangan warga untuk ambil air di sumur itu yang menunjukkan bahwa hari sudah mulai siang, nampak pula matahari di ufuk Timur memancarkan sinarnya. Saya sedikit lega karena kemarahan Mamanya Sari agak menurun, bahkan nampaknya ia dapat merahasiakannya dan tidak memberi ancaman hukuman apa-apa pada kami. Sayapun segera berlari pulang hingga sampai di rumah, sedang Sari berjalan bersama Mamanya.
“Dit.., kenapa kamu terlambat pulang dari sumur nak, cepat-cepatlah, nanti kamu terlambat di sekolah, sehingga kamu dimarahi oleh gurumu)”.
Hanya itulah kata-kata Mamaku dari dapur setelah saya tiba di rumah dengan menggunakan bahasa daerah.
“Terlalu banyak orang mau ambil air di sumur, sehingga terpaksa kita antri” hanya itu jawaban saya pada Mamaku sedikit berbohong.
Lalu tanpa sempat sarapan pagi, saya langsung meraih buku pelajaranku dan segera pamit meninggalkan rumah sambil sedikit berlari tanpa menunggu lagi Sari, agar aku tidak terlalu ketinggalan mengikuti materi pelajaran jam pertama di sekolah.
Sesampai di sekolah, sayapun langsung masuk ke kelasku dan duduk di tempat yang biasanya saya duduki karena memang sedang kosong.
“Kenapa kamu terlambat, dari pasar lagi yeah?” tanya ketua kelasku yang kebetulan duduk berdampingan denganku.
Mendengar pertanyaan temanku itu, saya lalu menjawab dengan sedikit berbohong, “Yah, tapi kan belum juga kita belajar”.
Kebetulan saya dengan ketua kelasku sangat akrab, sehingga ia tak tega melaporkan hal ini pada guru, apalagi dia pun juga sering terlambat jika hari pasar. Kebetulan jarak antara sekolah kami dengan pasar kecamatan hanya sekitar 100 m. Mendengar ucapan saya itu, spontan terdengar suara tawa dari beberapa teman yang duduk di sekitarku. Ternyata saya yang ditertawakan karena baru saya tahu kalau pelajaran pertama hari itu baru saja selesai sekitar 3 m yang lalu setelah ketua kelasku menunjukkan jam tangan yang dikenakannya, ternyata sudah jam 9.00. Mereka semua pada menunggu guru yang akan mengajar pada jam kedua.
Untung keterlambatanku tidak ada yang berani melaporkannya pada kepala sekolah atau pada guru lainnya, apalagi antara saya dengan ketua kelas sudah saling pengertian, boleh dikata satu rahasia. Walaupun saya dengan tenang mengikuti materi-materi pelajaran pada hari itu hingga akhir pelajaran, namun pikiran saya tak pernah terkonsentrasi pada materi, melainkan pikiran saya selalu tertuju pada peristiwa di sumur tadi pagi. Yang selalu menghantui saya adalah apakah perbuatan saya dengan Sari tadi tidak akan diketahui orang lain kecuali Mamanya si Sari saja? akankah hal ini tidak sampai dilaporkan dan diketahui bapaknya Sari? dan apakah Sari masih mau dan masih dibiarkan jalan bersama dengan saya seperti pada hari-hari sebelumnya? Hanya itulah yang selalu membayangi pikiranku dalam perjalanan pulang dari sekolah.
Hari itu saya berjalan sendirian pulang dan tidak berusaha menunggu si Sari dari sekolahnya seperti pada hari-hari sebelumnya, sebab mungkin ia malu ketemu saya setelah ia dimarahi oleh Mamanya di depan saya ketika di sumur itu atau dilarang oleh Mamanya pergi ke sekolah, apalagi ketemu dan berjalan bersama dengan saya, serta berbagai macam dugaan pertanyaan yang muncul di pikiran saya mengenai keadaan Sari setelah kejadian tadi subuh itu di sumur. Hingga saya tiba di rumah, pikiran saya tidak pernah konsentrasi pada pelajaran di sekolah, keadaan di perjalanan dan makanan yang ada di rumah, bahkan selera makanku tiba-tiba berkurang setelah sebelumnya saya selalu makan dengan nikmat sekali akibat jauhnya perjalanan yang saya tempuh pulang balik antara rumah dan sekolah saya.
Sudah 3 hari setelah kejadian itu saya tidak ketemu Sari, hingga pada hari keempat dari kejadian itu, saya penasaran ingin ketemu Sari untuk menanyakan keadaan dirinya yang sebenarnya setelah kejadian itu, sehingga saya coba bangun agak lebih awal dari biasanya agar bisa saya ketemu di sumur seperti biasanya siapa tahu dia selalu ke sumur lebih pagi. Pagi itu, saya tiba di sumur itu kurang 3 m jam 4.00 subuh menunggu kedatangan Sari. Tapi hingga jam 4.15 m ia belum juga datang. Dalam hati saya mungkin ia selalu datang ke sumur agak terlambat dari biasanya. Karena itu, walaupun saya selesai mandi, namun saya berniat mencoba menunggunya sampai jam 4.30, jika ia tidak datang juga, saya harus pulang biar besoknya lagi saya coba ke sumur agak terlambat lagi, siapa tahu bisa ketemu.
Baru saja saya mau duduk di pebukitan di sekitar sumur itu untuk menunggu datangnya Sari, tiba-tiba terdengar suara tidak jauh dari belakangku.
“Kamu Aidit, apa yang kamu tunggu di situ, kamu tunggu lagi Sari yah, kamu mau peraktekkan lagi, betul-betul kamu tidak kapok yah”.
Kagetnya aku bukan main setelah mendengar suara itu dengan bahasa daerah tulen, ternyata datangnya dari Mamanya Sari. Belum saya sempat bicara dan menjawab pertanyaan Mamanya Sari itu, tiba-tiba ia memegang bahu kiriku dan menyatakan (semua kata-kata yang diucapkan Mamanya Sari selalu dengan bahasa daerah Bugis, tapi saya tak perlu mengutip semuanya dalam cerita ini).
“Sejak saya ketahui perbuatanmu dengan Sari waktu itu, saya melarang lagi Sari bertemu denganmu, apalagi bergaul/bersamamu, jadi sabar saja sebab terlanjut kuketahui perbuatanmu, untung saja saya tidak lapor sama bapaknya”.
Itulah kata-kata yang disampaikan Mamanya Sari pada saya ketika ketemu di sumur itu. Hati kecilku berkata ternyata betul dugaanku, Sari dilarang lagi oleh Mamanya bergaul dan jalan bersama denganku. Bahkan baru kali itu saya tahu dari Mamanya Sari jika Sari (anaknya) tidak pernah masuk sekolah dan tak pernah lagi ke sumur itu, karena Mamanya melarangnya kecuali ditemani oleh Mamanya atau adiknya. Mungkin karena rasa malu atau jengkel sama Mamanya sehingga Sari mandi dan mencuci di sumur lain yang tidak terlalu jauh dari rumahnya, meskipun airnya kurang bagus dan sering kering. Si Sari menurut Mamanya selalu murung dan lebih banyak dalam kamar dengan alasan sakit, sehingga ia dan suaminya tidak mau memaksa anaknya itu ke sekolah, meskipun Mamanya sendiri tahu jika hal itu hanya alasan semata, tapi tetap ia memaklumi perasaannya.
Setelah Mamanya Sari mengutarakan keadaan Sari pada saya dengan suara agak lembut dari sebelumnya, iapun lalu berkata.
“Sebenarnya saya tidak melarang kamu dit, bermain-main seperti yang kamu lakukan tempo hari di sumur ini, tapi jangan di depan anak saya Sari, sebab ia masih anak gadis yang tidak tahu apa-apa, nanti urusan sekolahnya terganggu. Jika kamu benar-benar mau begitu, kan banyak perempuan lain yang menyukai hal seperti itu. Saya sendiri sudah tua, tapi masih senang dengan hal seperti itu. Suamiku tidak pernah memperlihatkan penisnya pada saya seperti yang pernah kamu perlihatkan pada anakku Sari di sumur ini. Padahal sudah lama saya ingin sekali melihat secara jelas, tapi tak pernah ia mau dan saya pun tak pernah meminta ia telanjang bulat sebab saya malu dan takut meminta atau menyuruh ia lakukan di depanku. Nanti ia menyangka aku ini macam-macam atau hiper sex”.
Alangkah bahagianya dan mengherankan saya ketika mendengar kata-kata polos dari Mamanya Sari itu. Apalagi ketika ia berterus terang pada saya bahwa,
“Saya pun sebenarnya tidak pernah berani dan diminta oleh suami saya untuk telanjang bulat di depannya sekalipun kami sudah mau kerjakan perbuatan itu yakni bersetubuh atau bersenggama. Kalau suamiku mau menggauliku, ia tak pernah banyak bicara, banyak tingkah dan tak pernah meremas-remas tetekku atau vaginaku. Ia langsung saja bangun, lalu duduk, lalu mengangkat sedikit sarungku, lalu ia tarik kebawah rok dan celanaku. Pada saat seperti itu, saya sudah ngerti maunya, lalu saya renggangkan sedikit kedua pahaku, kutarik sedikit kedua bibir kemaluanku, lalu ia masukkan penisnya, sebab sebelum bangun biasanya penisnya sudah berdiri lalu bangun langsung mengangkangiku. Kedua tangannya ditellakkan di samping kiri kanan sebagai penyanggah, lalu ia dorong bolak balik penisnya hingga amblas seluruhnya.”
Mamanya Sari cerita panjang lebar padaku, katanya, “Ketika suami saya sudah masukkan penisnya ke dalam vagina saya, saya hanya membantu menggerak-gerakkan pinggul saya supaya amblas seluruhnya, jika perlu dengan biji plernya sekalian biar lebih nikmat rasanya ha.. Ha. Saya rasanya bahkan takut dan malu mengajak lebih dulu senggama meskipun sebenarnya saya sudah ingin sekali. Apalagi telanjang bulat tanpa permintaannya. Jadi hingga keluar sperma dari penisnya, tak pernah sama sekali merobah posisi atau gerakannya. Tak pernah ia mencium susu, pipi, bibir, kemaluan atau kelentitku seperti yang sering saya dengar dalam cerita orang-orang yang biasa nonton film porno dari vCD”. Cerita Mamanya Sari pada saya dekat sumur yang merangsang saya.
Cerita terus terang dan panjang lebar itu, mungkin disengaja oleh Mamanya Sari karena ada maksud lainnya pada saya, tapi yang jelas ia kelihatannya agak kesal atas kepasifan suaminya dalam bersetubuh, sehingga ia seolah-olah ingin menikmati lebih daripada itu, misalnya dirangsang lebih dahulu atau diperlihatkan segala alat vital suaminya, seperti yang ia lihat pada saya tempo hari. Ia nampanya ada keinginan praktekkan cerita porno yang sering ia dengar dari teman pergaulannya, sebab ia sendiri belum pernah menyaksikan langsung adegan sex dalam film atau membaca cerita porno. Ia hanya dengar dari orang lain bahwa banyak posisi dan model gerakan sex yang dapat dilakukan dan rasanya lebih nikmat dari pada posisi biasa yang ia kenal dan sering lakukan.
Setelah membeberkan pengalamannya dengan suaminya, Mamanya Saripun berbegas ke sumur untuk mandi sambil berkata,
“Tunggu saya dulu yah, nanti kita sama-sama pulang” ucapannya sambil berjalan ke pinggir sumur.
Spontan saja belum sampai di tempat cucian pinggir sumur, ia sudah buka sarung dan bajunya, sehingga dari belakang saya sempat melihat kait BH-nya dan CDnya yang warna kuning.
“Dasar perempuan penasaran” (dalam kati saya).
Sesaat setelah itu, ia sudah bugil, sebab memang ia tidak pakai rok dan baju dalam, namun kali ini baru terlihat dari belakang. Tapi berselang beberapa detik saja, ia sudah menyiram seluruh tubuhnya yang polos itu dengan air. Saya sempat terperangah dan tersentak sejenak ketika ia berbalik ke arah saya, apalagi saya berdiri tak jauh dari tempatnya mandi, sehingga susu dan putingnya yang menantang serta gundukan yang ada di selengkangannya terlihat dengan jelas sekali.
Jantung saya berdebar ingin menyaksikan pemandangan itu lebih lama, bahkan memegangnya sekalian, tapi ada rasa malu dan takut dalam hati saya, sehingga saya mencoba untuk terus terpaku di situ. Susu dan putingnya yang tidak jauh beda dengan milik Sari, mungkin karena baru dua anaknya yang pernah mengisap dan itupun sudah lama sekali, sementara bapaknya memegangpun jarang, apalagi menjilatinya, sehingga wajar jika masih indah, montok dan menantang. Hanya yang kurang wajar bagi saya adalah gundukan yang ada di selangkangannya, ternyata bersih, agak mengkilap seolah belum pernah melahirkan, bahkan tak satupun bulu-bulu yang tumbuh di atasnya. Padahal menurut perkiraan saya usianya sudah di atas 40 th. Umumnya orang mengatakan bahwa rata-rata kemaluan orangtua setengah baya ditumbuhi bulu yang agak lebat, sedang kemaluan Mamanya Sari justru gundul dan tidak ada bekas dicukur.
Keadaan alat sensitif Mamanya Sari saya ketahui setelah ia tiba-tiba memanggilku, “Dit, ke sini dulu, bantu saya gosokkan dengan sabun pada bokong saya sebab tangan saya tak sampai.”
Dia memanggilku sambil sedikit melambaikan tangannya ke arah saya. Tentu saja walaupun diselingi rasa takut bercampur malu, tapi sebagai pria normal yang pernah dan ingin menikmati keindahan tubuh wanita, saya harus lebih memberanikan diri dan membuang jauh-jauh rasa takut dan malu agar kesempatan emas ini dapat saya nikmati. Segera saja saya lebih dekat dan meraih sabun dari tangannya, lalu pelan tapi pasti saya coba sentuh bokongnya dan menggosoknya dengan sabun sampai bersih. Dalam hati kecil saya sudah yakin jika Mamanya Sari justru mau menikmati barang saya yang telah disaksikan tempo hari, apalagi setelah saya kaitkan dengan ceritanya tadi dengan suaminya yang seolah kurang puas bersetubuh dengannya, maka tidak ada lagi rencana lain kecuali ingin menjadikan aku sebagai pemuas nafsunya.
Setelah beberapa menit saya gosok-gosokkan tangan saya di daerah belakan, kini tiba-tiba ia berbalik menghadap ke arah saya sehingga tanpa sengaja tangan saya bersentuhan sedikit dengan payudaranya. Iapun kelihatannya merinding dan merasa nikmat atas sentuhan tangan saya, dan saya langsung.
“Maafkan saya bu, saya tak sengaja” kata saya pada Mamanya Sari saat menyentuh susunya tanpa sengaja.
“Mmm.., Tak apa-apa, jika perlu kamu boleh pegang, remas, cium dan isap putingnya” itulah yang sempat diucapkannya sambil menarik tangan saya ke arah teteknya, sehingga tanpa perintah sayapun memegang dan meremasnya sedikit.
Bahkan kali ini ia telanjangi aku dengan menarik sarung saya ke atas hingga keluar lewat kepalaku, selanjutnya ia tarik celana dalam saya ke bawah hingga lepas, sehingga saya dalam keadaan bugil seperti dirinya. Sungguh luar biasa kenikmatan dan kebahagiaan di subuh hari ini, ternyata impian saya untuk menikmati tubuh Sari jatuh pada tubuh Mamanya yang tak jauh beda bentuk dan segalanya.
Mula-mula berjalan agak pelan dan lembut remasan tangan saya atas kedua payudaranya, namun karena terdengar bisikannya
“Cepat-cepatlah dit.. Nanti ada orang ke sumur ini dan ia mendapati kita, pasti ia bunuh kita, isaplah cepat puting susuku” begitulah kata-katanya sambil menarik kepala saya lebih rapat lagi ke teteknya, bahkan tangannya juga sudah mulai berani memegang dan mengocok penis saya sehingga sayapun merasa kenikmatan.
Napas kami saling buruh, hingga “sstt.. Aaahh.. Mmm.. Nnn.. Ohh.. ” itulah suara yang terdengar dari mulutnya di kesunyian subuh itu menambah indahnya untaian burunhg di atas pohon yang sudah mulai ramai kedengaran karena memang sudah menjelang pagi.
Saya merasa tak lama lagi para warga akan berdatangan mengambil air di sumur itu, sehingga kami tambah mempercepat aksinya. Tanpa ia minta dan perintahkan, saya segera menurunkan kepala ke selangkangannya ingin juga rasanya menikmati vaginanya yang bersih, indah, gundul dan montok itu lewat mulut saya.
Sesaat setelah itu, maka saya dengan cepatnya pun menjulurkan lidah saya ke lubangnya setelah saya sedikit membuka kedua bibir kemaluannya dengan kedua tangan saya setelah merenggangkan kedua pahanya karena ia masih dalam keadaan berdiri. Setelah terasa lidahku masuk ke lubang vaginanya, maka saya gerak-gerakkan biar dia menikmatinya dan tidak penasaran lagi seperti ceritanya tadi. Ternyata tindakanku itu tidak sia-sia sebab nampak dari rintihannya, ia sungguh menikmati gesekan kiri kanan atas bawah maju mundur lidah saya. Mungkin karena saking nikmatnya, maka ia tak tahan berdiri, ia segera jongkok, lalu mencari tempat duduk di atas batu yang ada dibibir sumur, sehingga saya lebih leluasa menjilati vagina dan kelentitnya, kadang saya gigit-gigit kecil sehingga pinggulnya maju mundur tanpa disengaja.
Setelah saya puas menjilati vagina dan kelentitnya serta saya yakin ia betul-betul puas menikmatinya, saya pun coba angkat pantatnya dan menurunkannya ke lantai tempat cucian sumur karena sejak tadi saya ingin sekali menembus vaginanya dengan penis saya. Baru saya berlutut di antara kedua pahanya yang berdiri, ia tiba-tiba jongkok sehingga kelihatan warna lubang vaginanya yang agak kemerahan yang di tengahnya tertancap suatu daging menumpang kecil dan bulat.
Ia segera meraih penis saya, lalu dikulumnya secara keras dan cepat seolah ingin memuaskan aku lebih cepat, apalagi kicauan burung sudah lebih ramai kedengaran sebagai tanda bahwa hari sudah menjelang pagi. Tak lama lagi warga akan berdatangan ke sumur itu, maka tak lama kemudian iapun segera mengakhiri kulumannya pada penis saya, lalu berbaring di lantai cucian dan menyanggah kepalanya dengan batu yang ada di pinggir sumur, lalu merenggangkan sedikit kedua pahanya, sebagai isyarat saya harus cepat-cepat memasukkan penis saya ke vaginanya yang dari tadi
Sesudah itu, sayapun segera berlutut di antara kedua pahanya, lalu sedikit demi sedikit mendorong penis saya kedepan hingga ujungnya terasa tertancap pada salah satu lubang yang menang menganga dan menunggu kehadirannya. Pada mulanya terasa agak sulit masuknya, sehingga sejenak ujungnya bertahan pada lubang bagian luar vaginanya, namun setelah berkali-kali saya gerakkan, ke kiri, ke kanan, maju, mundur, akhirnya amblas juga. Mulailah aku maju mundur dan gerakkan dengan cepat penis saya, sehingga kedengaran bunyi.
“Blak.. Blakk.. Decak.. Decik.. ” seirama dengan kicauan burung di atas pohon.
Mamanya Sari hanya bisa mendesis seperti seekor ular yang mau mematuk, “sstt, ahh, mm.. Eeenakknya, ceepat dit” begitulah suaranya yang bisa keluar dari mulutnya hingga saya membalikkan tubuhnya dan saya tinggal di bawah. Iapun mengerti apa keinginan saya, dan langsung saja ia naik turunkan pinggulnya seperti orang naik motor di atas jalanan yang penuh dengan batu besar.
Kami secara bersamaan mengeluarkan suara-suara yang tidak pernah berobah, “Aaahh.. Mmm.. Ssstt.. Aduuhh.. Ennaakk” begitulah berkali-kali suara kami.
Akhirnya tanpa aba-aba dan komentar, terasa ia mengejang-ngejang dan kepalanya kelihatan mulai kekiri dan kekanan, hingga ia menindis aku lebih keras dan menggigit bibirku agak keras serta merangkulku sebagai tanda ia telah mencapai puncak kenikmatan atau orgasme. Sedang saya baru terasa mulai berjalan keujung penis saya, sehingga saya harus tetap menarik dan mendorong pinggulnya agar penis saya tetap amblas dalam vaginanya. Bahkan ketika terasa cairan hangan mulai memaksa keluar, saya kembali merangkul erat, dan mengisap bibir serta menggigitnya juga, sehingga sperma saya keluar dalam keadaan penis saya tertancap di vaginanya atau memuntahkan dalam vaginanya. Dalam hati saya tidak ada masalah, sebab ia sudah muncrat duluan, sehingga pembuahan atau kehamilan kemungkiannya kecil, karena tidak bersamaan.
Mamanya Sari betul-betul menikmati permainan saya ini, karena saya dapat merasakan isyarat dari eratnya rangkulannya seolah tidak membiarkan aku menarik penisku keluar dan nampaknya ia ingin sekali menikmati puncaknya persetubuhan denganku. Karena itu, aku tidak tega memaksakan kehendak menarik penis saya keluar tanpa seizinnya, sehingga kami tetap berpelukan beberapa menit walaupun kami sama-sama telah mencapai puncaknya.
Setelah beberapa menit kami sama-sama merasakan puncak kenikmatan, tanpa banyak basa basi dan menunggu terlalu lama lagi, kamipun segera bangkit dan sama-sama mandi kembali tanpa harus pakai sabun lagi. Lalu kamipun meninggalkan sumur itu, setelah kedengaran dari jauh mulai ada suara manusia yang makin lama makin dekat. Mungkin suara warga yang akan mengambil air di sumur itu. Tentu saja kami tidak jalan bareng, sebab takut orang yang melihat kami salah sangka, meskipun sangkaan mereka benar adanya. Yach dasar akal busuk manusia yang telah melakukan pelanggaran. Kami memilih jalanan yang berbeda dan menghindar berpapasan dengan orang yang datang ke sumur itu.
Sebelum kami betul-betul terpisah, saya sempat berkata, “Terima kasih Bu atas pertolongannya padaku, baru kali ini saya merasakan kenikmatan yang sebenarnya”.
Mendengar ucapan terima kasihku itu, iapun bergegas berkata, “Terimah kasihku lebih besar lagi, karena walaupun saya sudah beberapa kali melakukan senggama dengan suamiku, tapi belum pernah saya rasakan kenikmatan sepertri ini, maukah kamu membantuku lagi atau memuaskanku lagi? Kalau perlu kita harus selalu pagi-pagi ke sumur siapa tahu kita dapat kesempatan melakukannya lagi, nikmat sekali khan, mau khan Aidit?”. Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Mamanya Sari padaku di pagi itu sebelum kami berpisah.
Tentu saja kami saling senang dan meng-iyakan bahkan saling mencium pipi sebagai tanda kasih sayang, apalagi kami telah saling memberikan kepuasakan yang luar biasa, yang tidak berbeda nikmatnya sewaktu saya bersetubuh dengan Sari anaknya sendiri di bawa meja, hanya kesannya yang berbeda. Sebab satu dilakukan di bawah meja dan satu lagi dilakukan di lantai cucian sumur. Betul-betul kenikmtana di balik lantau cucian sumur tua.
Kisah saya bersama Mamanya Sari ini masih terus berlanjut, bukan sampai di situ, tapi selain di Lantai Cucian sumur tua di tengah sawah itu, juga kami beberapa kali melakukannya di rumahnya ketika suaminya tidak ada di rumah, bahkan pernah kami lakukan di depan ranjang tempat tidurnya ketika suaminya dalam keadaan tidur nyenyak di atas ranjangnya, sehingga mudah-mudahan di kesempatan lain, saya dapat menyambung lagi kisah nyata ini dengan peristiwa kami yang lebih seru, berkesan dan dapat merangsang teman-teman Ok…,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,