Ancol Dan Misteri II
- Home
- Cerita Sex Gay
- Ancol Dan Misteri II
Ancol Dan Misteri II
CERITA SEX GAY,,,,,,,
Dari bagian 1
Kami masuk ke dalam air dan mengambil posisi agar punggung kami kejatuhan air. Huh! Enaknya dipijat dengan curahan air terjun buatan ini. Kupejamkan mata menikmati itu. Kelelahan bekerja beberapa hari lalu terasa luruh. Tanpa kusadari, sudah ada cowok di sampingku. Tangannya menyenggol barangku yang sedang mengecil karena kedinginan.
“Sendirian ya?” tanyanya.
Aku lihat Ganda dan Dana sudah tidak ada di sekitarku. Tapi cepat dapat kulihat, mereka sedang berenang di tengah kolam.
“Nggak. Sama teman,” jawabku. Aku jaga sikap agar berkesan tidak terlalu akrab.
“Itu mereka,” kataku lagi sambil melambaikan tangan pada Dana yang sedang menuju ke arahku.
Cowok yang disampingku tersenyum saja. Sebenarnya dia mau melanjutkan percakapan, tapi segera aku tinggalkan dan berenang ke arah Dana.
“Ada apa?” tanya Dana.
“Nggak apa-apa,” jawabku berusaha tenang. Sebenarnya aku agak segan kalau disapa cowok dalam situasi seperti sekarang.
Rasanya mereka mau memperkosaku saja. Dan lagi dia bukan cowok typeku. Hih!
Kulihat Ran sudah masuk kolam dan bergurau dengan cowok yang tadi menyapaku. Entah apa yang mereka percakapkan. Aku berenang menjauhi air terjun dan bersandar di pinggir kolam, memperhatikan mereka yang sedang asyik bermain air di sana.
Kulihat sekeliling, yang berenang sudah mulai berkurang. Langit sudah mulai gelap. Aku permainkan kakiku di air. Bima jadi datang nggak ya? tanyaku dalam hati. Kulihat ke arah pintu masuk. Tidak ada tanda-tanda Bima telah datang. Yang kulihat malah banyak yang akan keluar pulang.
Aku keluar air dan berjalan menuju kolam arus. Deg! Ketika aku sudah turun ke air, kulihat cowok bermata indah yang kulihat waktu baru datang tadi telah berada di sampingku. Aku kaget sekali. Sangat kaget.
“Kamu mengagetkanku,” kataku sambil menarik nafas, menenangkan diri. Kusapu mukaku dengan tanganku yang menampung air. Kuulangi lagi, sampai kesadaranku pulih dari kaget tadi.
“Maaf,” katanya. Dia tersenyum. Manis. Aku suka wajah manisnya, apalagi dadanya yang tidak begitu padat, tapi kulihat indah saja. Dia pake celana renang pendek warna merah. Dapat kulihat tonjolan kontolnya. Hm, boleh juga nih..
“Tidak apa-apa,” kataku menenangkan dari rasa bersalahnya. Kusodorkan tanganku. Dia menyambutnya. Tangannya dingin dan berkerut. Mungkin karena lama terendam air.
“Elang,” katanya menyebut namanya. Kusebut juga namaku.
“Namamu bagus,” kataku. Dia tersenyum lagi, meperlihatkan giginya yang rapi. Tapi sorot matanya terasa redup. Sepertinya dia punya masalah.
Kualihkan percakapan, mengomentari situasi kolam yang sudah mulai sepi. Dia juga mengatakan datang bersama teman ceweknya ketika kutanya dia datang bersama siapa.
“Mana ceweknya sekarang?” tanyaku melihat kesendiriannya.
“Sudah naik tadi, ke kamar bilas. Tadi juga sudah mengajak pulang,” jelas Elang.”Tapi tadi aku melihat kamu, jadi kutunggu.”
Ooo, begitu ya. Berarti aku sudah ditunggu dari tadi. Lama juga dia mau menungguku, aku membatin.
Kemudian dia cerita tentang dirinya yang masih kuliah dan tinggal disekitar Sunter. Ada nada aneh yang kurasakan ketika dia bercerita tentang dirinya dan teman ceweknya. Tapi aku tidak tahu apa. Sudah sore, dan lampu penerangan pun sudah nyala. Kuperhatikan di daerah air terjun masih ada orang yang sedang bermain disana. Tidak jelas apa yang mereka lakukan.
Aku dan Elang berjalan menyelusuri kolam ini. Jalan pelan di dalam air. Aku tidak lihat ada orang lain yang di kolam ini. Rasanya tinggal kami saja. Timbul pikiran isengku. Ketika tanganku menyenggol pahanya, dia diam saja. Dengan berani aku mendaratkan telapak tangan kananku di kontolnya yang setengah tegang. Dia diam saja. Celana renangnya yang tipis itu mencetak kontolnya dengan jelas dan dalam genggamanku makin membesar.
Aku remas kontolnya yang membuat dia menghela nafas karena nikmat. Kami masih berjalan pelan sambil tanganku masih meremas kontolnya. Tangan kirinya merangkul bahuku erat. Kudengar dengus nafasnya di telingaku. Ingin aku merogoh masuk ke dalam celana renangnya, menyentuh langsung otot kontolnya. Tapi..
Sampai akhirnya di bawah jembatan kami berhenti. Agak gelap di sana. Dia memutar tubuhnya menghadapku yang bersandarkan dinding kolam. Kontol kami saling beradu.
Tangannya memegang bibir pinggiran kolam, menjepit bahuku dengan kedua tangannya. Tubuhnya merapat, dadanya merapat ke dadaku. Kembali kontol kami saling menekan dan kami gerakkan agar rangsangan terasa makin nikmat. Kami lakukan gerakan pelan. Kiri-kanan berkali-kali, membuat sarafku menegang. Kurasakan cairan kontolku sudah keluar. Licin.
Tanganku di dadanya sedang jariku mempermainkan putingnya. Paha kiriku sudah digapitnya kencang yang membuat kontol kami saling menekan. Kurasakan denyut kontolnya sesuai dengan degup jantungnya yang makin kencang.
Kepalaku kembali berdenyut sampai ke ubun-ubun menerima rangsangan itu. Dengus nafasnya ditelingaku sangat merangsangku. Dan aku juga berusaha mengelus daun telinganya dengan bibirku. Setiap kali bibir kami mau bertemu, aku menghindar agar tidak berciuman dengannya. Entah kenapa. Tubuhnya masih teras dingin. Aneh! atau karena didalam air?
Aku tersadar dengan permainanku. Yadi, sadarlah! Tapi tanganku masih bermain di putingnya yang sudah mengeras. Sedang pinggangku mendorong pinggul ke depan agar kontol kami terus saling menekan. Hhh.. Kutarik nafas dalam.
“Sudah ya,” kataku sambil mendorong tubuhnya.
Aku tersenyum, memintanya untuk mengerti agar tidak meneruskan permainan ini. Akhirnya aku sadar. Nafas kami masih menggebu. Aku keluar dari kedua lengannya. Dia pejamkan matanya. Ada ekspresi kecewa di wajahnya. Aku dekap mukaku dengan telapak tanganku. Ada bau khas terasa di telapak tanganku.
“Nggak suka ya?” tanyanya kemudian. Dia memandangku dalam. Dia berdiri di sampingku, bersandarkan dinding kolam.
Aku diam saja sambil menggerakkan kepala, antara mengangguk dan menggeleng.
“Jangan di tempat terbuka begini,” kataku memberi alasan.
Kamudian aku ajak dia kembali berjalan menyelusuri kolam arus ini. Beberapa bintang sudah ada kelihatan. Kucoba cari teman-temanku. Kulihat mereka masih bermain di kolam tanding sana. Masih kudengar suara mereka. Ada rasa was-was juga kalau di tinggal.
“Mencari temannya ya?” tanya Elang melihat tingkahku.
“Iya,” kataku.”Takut ditinggal.”
“Lebih baik sekarang kita ke kamar bilas saja,” usulnya.”Lebih baik kita menunggu temanmu di sana.”
Usul yang baik, pikirku. Akhirnya kami keluar kolam dan berjalan menuju kamar bilas. Petugas di counter depan kamar bilas keluarga ini diam saja ketika aku sapa. Maksudku kalau teman-temanku sudah ada yang masuk, dia bisa mengatakannya. Tapi karena tidak ada jawaban, kami pun menuju kamar bilas yang tadi aku tinggalkan. Handuk dan pakaianku ada di sana. Semoga saja teman-temanku menyusul. Sayu-sayup kudengar azan Magrib.
Jalur gang kamar bilas ini sepi. Tapi ada wangi yang aku tidak mengerti wangi apa. Aku buka kamar bilasnya dan masuk. Ketika pintu tertutup, baru kusadari ada keramain di sini. Tapi waktu di luar, tidak ada suara apa-apa, eh sekarang di sini rame sekali. Aneh!
Aku kaget! Sungguh kaget. Hampir saja aku balik keluar lagi. Kulihat Elang sudah berdiri di depanku, menghalangiku melihat jelas apa yang terjadi. Tapi setelah Elang melangkah, dapat kulihat lima cowok sedang mengeroyok seorang cewek di bawah pancuran shower! Mereka sedang memperkosanya. Mereka semua telanjang. Hah.. Jantungku kembali bergemuruh. Apa-apaan ini?!
Ini benar-benar pemerkosaan. Ceweknya kulihat masih sangat muda dengan buah dadanya yang tidak begitu besar diremas habis dua cowok di sampingnya. Erangan kesakitan sangat keras tarasa di telingaku. Di bawahnya ada cowok yang sedang telentang yang kontolnya masuk di anus cewek. Sedang di atasnya ada cowok lagi dengan barangnya menusuk memeknya. Mereka bergerak-gerak maju mundur mencari kenikmatan gesekan kontol mereka. Cowok yang satu lagi memaksa cewek itu mengulum kontol yang sudah sangat tegang miliknya..
Beberapa saat aku seperti tidak sadarkan diri menyaksikan apa yang teradi di depanku. Aku hanya berpikir bahwa aku salah masuk kamar. Tapi kulihat Elang perlu pertolongan. Dua cowok yang sedang asyik menikmati dada cewek itu kini baru sadar dengan kehadiran kami.
“Heh! Ini dia pacarnya ya?” kata salah satu cowok itu.
Cowok berkulit putih, tampang tionghoa atau Menado. Aku nggak tahu pasti. Tapi dari dialeknya..
Tanpa kusadari Elang sudah ditangkap mereka. Celananya dilucuti. Aku hanya bisa menyaksikan. Entah kenapa, aku tidak bisa bertindak apa-apa. Sekarang Elang dipaksa melayani dua cowok yang tidak mendapatkan ‘lobang’ itu. Elang dipaksa menungging dan saat itulah salah satu cowok menembus anus Elang dengan kasar.
Ingin aku tidak menyaksikan semua itu. Tapi entah kenapa mukaku tak bisa berpaling. Darahku terasa sudah menuju kepuncak kepalaku. Berdenyut yang membuat kepalaku pusing. Tubuhku menggigil kencang. Perasaan dingin mendadak menerpaku. Elang mengerang kencang. Dia kesakitan, tapi erangannya disumpal pake kontol cowok satunya lagi.
Aku menggelengkan kepalaku beberapa kali. Tapi kesadaranku belum juga timbul. Aku tidak bisa bersuara. Berdiri terpaku menyaksikan tindakan biadab yang mereka lakukan. Anus dan mulut Elang dijejali kontol dua cowok itu. Mereka kasar sekali dengan nafsu yang menyelimuti mereka. Aku dekap tanganku untuk mengusir rasa dingin. Tetap tidak membantu. Akhirnya aku terjatuh, terduduk dengan hanya memakai celana pendek. Dingin sekali.
Kemana Ganda, Dana dan Ran? Kok mereka tidak datang juga? Akhirnya aku tersadar. Aku harus minta tolong!
Kulihat Elang dipaksa menelan sesuatu yang dimasukkan kemulutnya. Ceweknya juga. Ada beberapa butir pil yang aku tidak mengerti itu apa. Perkosaan kembali dilanjutkan. Mereka saling bergantian. Aku harus minta tolong! otakku kembali bersuara. Tapi kakiku susah untuk berdiri. Suara erangan kenikmatan pemerkosa memekakkan telingaku. Elang dan ceweknya sudah tidak bisa meronta lagi. Mereka kehabisan tenaga. Pasrah. Apa karena pengaruh obat yang dipaksakan mereka telan tadi? Elang sudah tengkurap dan ditindih. Ceweknya juga sudah tidak memberikan reaksi apa-apa lagi, tetap di genjot anus dan memeknya.
Ah! Tuhan, tolong aku! Akhirnya aku ingat Tuhan dalam kondisi begini. Kuulangi beberapa kali menyebut nama Tuhan. Sampai akhirnya kulihat Elang dan ceweknya itu benar-benar tidak bergerak dan suara erangan mereka hilang. Kelima cowok yang tadi memerkosa mereka juga sudah tidak ada. Begitu cepatkah mereka pergi? Banyak darah berceceran di ruangan ini, di sekitar mereka. Kental dan masih mengalir pelan dari dari lobang tubuh Elang dan ceweknya itu.
Aku masih menggigil kedinginan. Kupeluk kakiku, kurapatkan ke dada. Tetap dingin. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Elang dan ceweknya terkapar diam. Tidak bergerak. Nafaspun tidak. Elang telungkup dengan tangan terentang dan satu kakinya tertekuk, diwajahnya banyak cairan sperma, juga di pantatnya. Sedang ceweknya telentang dengan kaki mengangkang. Memeknya masih belum rapat itu mengeluarkan darah kental bercampur sperma. Wajahnya kusut penuh cairan sperma, sebagian menempel di rambutnya.
Aku belum juga bisa bangun. Akhirnya tubuhku jatuh, rebah dengan bertumpukan lenganku dan kaki masih kudekap di dadaku. Kembali aku berdoa, semoga ada yang membantuku. Ruangan jadi gelap. Dingin. Susah aku menegakkan kepalaku agar tidak menyentuh lantai yang dingin ini. Aku sudah tidak kuat, kepalaku terkulai di lantai. Dingin.
Sayup-sayup kudengar ada yang memanggilku. Jauh sekali suaranya. Ingin aku menjawabnya. Tapi lidahku tarasa kelu. Ran! Ganda! Dana! Tetap tidak bisa bersuara. Sekuat tenaga aku berusaha memanggil teman-temanku. Kuangkat kepalaku yang rasanya berat sekali. Susah. Lantai yang dingin ini terasa tambah dingin dan membuat kelu lidahku. Kaku.
Bima! Entah kenapa tiba-tiba aku jadi ingat Bima yang mau ikut menyusul tadi.
“Bima..!” suaraku terdengar pelan, walau aku berusaha memanggil kencang. Kembali aku memanggil dan suaraku kembali keluar pelan. Sepertinya tertahan ditenggorokanku. Kutelan liurku untuk membasahi kerongkonganku yang kering. Mencoba memanggil lagi.
Tubuhku sekarang mengeluarkan keringat dingin. Tubuhku yang tadi sudah kering dari kolam tadi, sekarang kembali basah oleh keringat.
Aku sudah tidak melihat apa-apa karena gelap. Mataku kupejamkan. Aku konsetarasi penuh memanggil Bima dan temanku yang lain. Akhirnya aku kembali dengar suara. Suara kunci dan pintu yang dipaksa dibuka.
“Itu dia, Yadi!” bersamaan dengan itu, ada yang memelukku.
Dekapan hangat itu, aku tidak tahu milik siapa. Mataku susah untuk dibuka. Aku diguncang. Berkali-kali. Tubuh lemasku terguncang, menyadarkanku dari rasa dingin. Aku masih berusaha untuk membuka mata. Kenapa begini berat? Pelan aku dapatkan tenaga untuk menggerakkan kelopak mataku..
Wajah Bima yang pertama kali kulihat. Samar-samar, yang makin lama jadi jelas. Aku mengernyitkan mataku kena silau sinar senter yang tiba-tiba menerpa wajahku.
“Bawa keluar,” ada suara terdengar jelas.
Bima mengangkat tubuhku dengan susah. Aku digendong dengan sedikit terseret keluar. Banyak suara, tapi aku tak mau mendengarnya. Ramai sekali dan tidak jelas. Aku capek. Lelah. Juga lapar. Ada yang membimbingku untuk membaca doa dan menyuruhku minum air dari gelas plastik. Kuikuti baca doanya, yang biasa aku baca juga kalau sedang ingat Tuhan. Dengan mata masih tertutup, dan kepalaku dibantu untuk tegak, aku minum air itu. Ada getaran seperti aliran listrik menjalar ketubuhku, bergerak menyelusuri tubuhku.
“Lagi, minum lagi,” ada suara yang memerintahku untuk kembali minum. Dekat sekali.
Kembali aku teguk air itu. Setelah itu rasanya baru aku dapat bernafas lega walau sedikit susah. Kembali aku dengar bacaan doa di telingaku. Kulihat sekelilingku. Kulihat teman-temanku menangis. Ran, Ganda dan Dana kulihat terharu. Aku sebut nama mereka pelan.
“Terima kasih..” kataku. Entah mereka dengar apa tidak. Tapi kulihat mereka mengangguk haru.
Aku tidak dapat menjawab pertanyaan mereka yang datang terasa bertubi-tubi dan ramai sekali. Semua bayangan apa yang terjadi kembali berkelebat di otakku. Elang dan ceweknya tadi kemana? Sementara itu aku dinaikkan ditandu, dibawa berjalan entah kemana. Bima yang paling dekat di pandanganku juga terlihat sedang terisak sambil berjalan mengikutiku.
“Kok bisa dia sampai didalam ruang pompa yang terkunci itu?” kudengar suara yang berkomentar sayup-sayup.
“Sudahlah, masih untung dia selamat,” suara lain menimpali.
Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku? Kulihat langit hitam dengan taburan bintang.
E N D,,,,,,,,,,,,,,,,,,,