2. FBI
- Home
- Cerita Sex Gay
- 2. FBI
CERITA SEX GAY,,,,,
2. FBI
Akhirnya terasa olehku, batang kemaluan Hari mulai meregang dan berubah menjadi semakin besar dan panjang. Dari semula tergantung lemah menjuntai menjadi tegak kokoh bersalur urat. Pada saat yang sama sayup-sayup telingaku menangkap bunyi lenguhan dan desahan keluar dari bibir Hari. Dilatarbelakangi desah suara Hari, suara dengkur teman-teman dan bunyi jengkerik di kejauhan, aku semakin bersemangat memajumundurkan wajahku ke arah selangkangan nya, seraya tanganku bergantian meremas-remas bulu pubicnya dan mengelus scrotum-nya. Terkadang ujung jariku meluncur ke tepi asshole-nya. Bercengkerama dengan helai pubic yang tumbuh terserak disekitarnya.
Mulutku mulai penuh sesak oleh batang penisnya yang terasa semakin besar, panjang dan mengembang. Sesekali aku merasa seperti tersedak ketika ujung kepala penisnya menyentuh pintu tenggorakanku. Akhirnya aku seperti mendapat sambutan ketika kurasakan tubuh Hari bergerak-gerak. Ia mulai memutargoyangkan pinggulnya kearahku, seraya tangannya mengelus dan meremas-remas rambut kepalaku. Membuat koreografi senggama seirama dengan bunyi orkestrasi desah dan lenguhan kenikmatan yang keluar dari bibir Hari.
Puncak keterkejutanku ketika aku merasakan tubuh Hari tiba-tiba mengejang dengan sebelah kakinya merangkul erat pundakku. Batang kemaluannya terasa meronta dan menggelepar-gelepar di ronga mulutku. Hingga kemudian kurasakan ada sesesuatu terpancar deras menerobos masuk ke dalam kerongkongan. Terasa gurih, sedikit asin dan beraroma wangi daun pandan. Terus tanpa henti aku hisap hingga tandas tiada bersisa.
Setelah itu, berangsur kurasakan rangkulan kaki Hari mulai melemah. Demikian pula dengan batang dan kepala penisnya yang mulai melentur di rongga mulutku. Perlahan aku keluarkan penis itu. Meski ukurannya mengecil namun masih menampakan keindahan dan keseksiannya. Aku mendongak ke arahnya. Ternyata mata Hari masih terpejam.
Perlahan aku pindahkan sebelah kakinya yang semula menindih tubuhku. Dengan hati-hati, aku mengikat kembali tali simpul celananya. Setelah itu aku meluruskan kembali tubuhku, yang tadi agak kutekuk, setengah meringkuk.
Ku toleh lagi Hari. Ia masih mendengkur dan terpejam. Kulihat ada gurat senyum singgah di bibirnya. Kulihat juga teman-taman yang lain. Sama saja. Mereka semua masih terlelap. Di luar tenda suara jangkerik masih juga terdengar bersahutan dengan suara dengkur teman-teman. Aku memejamkan mata. Tidur.
*****
Dibantu oleh IF, aku mengencangkan seatbelt. Aku sangat canggung. Karena inilah saatmula aku bepergian naik pesawat terbang. Awalnya, IF hanya memintaku mengantarkannya ke airport. Dia mendapat tugas kantornya ke Bali. Aku juga tahu kalau IF sering melakukan perjalanan dinas ke daerah. Tidak seperti biasanya pergi sendiri, kali ini, entah ada angin apa tiba-tiba saja ia memintaku mengantarkannya.
Aku tidak mempersoalkan lebih jauh. Aku tidak keberatan untuk mengantarnya. Toch, aku juga sedang tidak ada kesibukan. Setelah mandi dan berpakaian. Kami segera berangkat ke bandara. Turun dari bis Damri yang membawa kami ke bandara IF memintaku menanti di kursi tunggu. Sementara ia menuju ke chek in counter. Jujur saja, pertamakali pula aku masuk ke dalam airport. Sehingga aku tidak tahu sama sekali kalau menjelang suatu penerbangan ada prosedur yang dinamakan chek in sebelum akhirnya boarding dan kemudian take off.
“Nah, sebentar kan nunggunya?”, kata IF seraya mengacungkan kartu boarding-nya ke arahku.
“Kita ngobrol di dalam saja ya? Aku bete duduk sendirian” lanjut IF kemudian.
“Terserah. Buatku menunggu di d luar atau di dalam sama saja kok”.
Aku sama sekali tidak mengira kalau ini merupakan awal dari pengalamanku naik pesawat terbang. Aku hanya mengekor IF yang berjalan mendahuluiku. Di pintu masuk kulihat ia berbicara kepada petugas security seraya menunjukan lembar kertas boarding yang dipegangnya. IF meletakkan handbag-nya di atas ban berjalan yang menuju ke kotak X ray. Kemudian berjalan menuju pintu metal detector. Aku mengikuti saja apa yang dilakukan IF, Berjalan melalui pintu yang sama.
“IF, nanti aku keluarnya bagaimana dong? Kok aku harus ikut masuk?”, aku bertanya kepada IF.
Aku cemas. Pasalnya, suasana airport sungguh asing buatku.
“Ngapain lagi takut. Udah deh, gampang kok. Kamu tidak buta huruf kan? Baca tulisan-tulisan itu. Pulang lewat pintu kita masuk tadi” Jawab IF seraya menunjuk tulisan pada papan informasi.
Kemudian ia menggamit lenganku. Menenangkan diriku.
Sampai di sini aku masih tidak menaruh kecurigaan terhadap IF bahwa, ternyata, aku akan di ajak bepergian naik pesawat terbang. Sebab ia tidak pernah menceritakan rencana ini sebelumnya. Aku hanya mengira setelah IF naik ke pesawat maka aku keluar ruangan tunggu dan pulang. Selesai. Sama halnya seperti ketika mengantar pakde dan bude pergi naik kereta api atau bis kota. Aku baru sadar bahwa ini bukan main-main atau bercanda ketika IF tiba-tiba memintaku mengikutinya untuk boarding seraya menunjukan kartu boarding atas namaku, menyusul pengumuman yang diberikan oleh ground staff airline.
Aku kaget. Betapa tidak. Aku tidak punya persiapan untuk pergi jauh. Apalagi ikut bersamanya ke Bali. Naik pesawat lagi. Aku samasekali tidak membawa bekal apapun kecuali pakaian yang melekat ditubuhku dan sedikit uang serta kartu pengenal di dompet. Bahkan pamit kepada orangtuaku pun tidak. Bali dan naik pesawat adalah sesuatu yang asing bagiku.
“Gila kau IF, aku kan tidak membawa bekal apapun. Pakaian ganti, uang, serta belum pamit kepada keluargaku”, kataku sambil bersungut-sungut.
“Forgive me please. Nanti setelah sampai Denpasar kau telpon mami. Katakan saja, kau tidak langsung pulang tapi main ke tempat teman. Nanti malam telpon lagi, bilang kalau hujan deras. Jadi tidak bisa pulang. Diminta bermalam, dan besok pulang, ok? Gitu aja kok repot”, jawab IF.
“Mengenai pakaian ganti dan lain-lain, aku sudah mempersiapkannya untukmu”, lanjutnya kemudian.
Perasaan panik, galau, dan senang berbaur jadi satu. Belum sampai aku mengeluarkan pernyataan kesetujuanku, IF terus saja menarik lenganku berjalan ke arah lorong garbarata yang menghubungkan ruang tunggu dengan perut pesawat. Tanpa punya pilihan lain, akhirnya aku berjalan membuntutinya menuju ke pesawat Boeing 737-400.
Di depan pintu masuk pesawat cabin crew berdiri menyambut penumpang. Make a greeting and small chat with passegers. Aku menebarkan pandangan ke arah barisan kursi yang berjajar rapi. Di boarding pass aku tadi sekilas melihat kalau nomor kursinya 13 A dan 13 B. Semoga saja bukan angka sial.
*****
“..cabin crew.., take off position..”, suara dari captain pilot itu menyadarkanku bahwa beberapa saat lagi pesawat akan segera melesat ke udara. Getar dan raungan deru mesin pesawat menembus gendang telingaku. Aku mencengkeram erat paha IF sambil ekor mataku melirik ke luar jendela. Sampai kemudian terasa pesawat sudah melepaskan pijakannya di darat dan sekarang mengudara.
Terbang yang pertamakali memberikan kenangan yang campur aduk. Aku sungguh takut ketika pesawat mengalami turbulance. Aku mencoba mengingat-ingat petunjuk keselamatan penerbangan yang tadi diperagakan cabin crew menjelang lepas landas, namun semua ingatanku lenyap.
Aku hanya berdoa dan berdoa seraya sebelah tanganku mencengkeram erat paha IF. Andai terjadi sesuatu ialah penyebabnya. Dengan cemas kulirik IF. Ia malah tersenyum. Aku menyumpah-nyumpah dalam hati.
“Awas ya, ngerjain aku. Tunggu pembalasanku”
Meskipun IF mencoba membujukku untuk melihat kota Denpasar dari ketinggian menjelang pendaratan aku tidak menghiraukannya. Aku masih takut.
“Penumpang yang terhomat, selamat datang di bandara Ngurah Rai, Bali. Saat ini waktu menunjukan tepat pukul 08.15..”, suara pramugari meyakinkanku bahwa penerbangan memang telah berakhir.
Aku menghela nafas panjang. Lega. Kutoleh IF. Ia masih tersenyum. Dengan sekuat tenaga kutonjok lengannya.
“Auw..”, IF berteriak seraya meringis.
Membuat penumpang lain menoleh ke arah kami. Sadar dengan peristiwa embarrassing tadi kami berdua tersenyum bersama seolah mengatakan kepada mereka semua there is nothing happened.
*****
“Nah, ini Budi yang pernah kuceritakan padamu”, kata IF memperkenalkan seseorang yang datang ke kamar hotel tempat kami menginap di Bali.
“Sementara aku pergi, Budi akan menemanimu, ok?”
“Hai, apa kabar?”, Budi tersenyum seraya menjabat tanganku.
Aku hampir lupa membalas tegur sapanya. Aku terpesona oleh ketampanan wajahnya dan bentuk tubuhnya yang proposional. Budi rupanya cukup mengerti dengan situasi yang dihadapinya. Ia langsung duduk tanpa menanti lagi jawabanku atas tegursapanya itu.
“IF sudah menceritakan tentang rencana kehadiranmu ini”, Budi membuka pembicaraan sambil beringsut ke arahku.
“Bagaimana penerbangannya tadi? Aman-aman aja kan?” Budi melanjutkan pembicaraannya.
“Ya, namun aku agak cemas tadi. Apalagi, sejujurnya, ini adalah penerbangan yang pertama kalinya buatku. Untungnya aku tidak punya phobia terhadap ketinggian. Jika ya, mungkin saja aku masih pingsan atau bisa jadi lebih dari itu. Brengsek benar IF, ngajak pergi tanpa bilang-bilang”, rentetan kalimat itu tiba-tiba saja meluncur deras dari mulutku. Seolah aku hendak mengadukan IF kepada Budi.
“Sstt.., sudahlah jangan marah pada IF, tapi marahlah padaku. Sebab akulah yang meminta IF agar merahasiakan hal ini kepadamu.”
Pada saat itu aku langsung tahu, mungkin, inilah rencana FBI yang dikatakan IF tempo hari. Mempertemukanku dengan seseorang yang sangat menginginkan petualangan asmara sejenis. Dari penjelasan IF dahulu, aku tahu kalau Budi ingin merasakan blow job/fellatio/nyepong/ngenyot batang kemaluanku merasakan pula bagaimana rasanya di perlakukan sama olehku. Selama ini, ia hanya punya pengalaman dengan IF saja, dan tidak dengan yang lain.
Kenapa harus dengan aku dan tidak dengan yang lain? Belakangan aku baru tahu kalau IF ingin sharing pengalaman bersama Budi. Untungnya, Budi masih termasuk dalam tipe idealku, sehingga aku tidak cukup punya alasan untuk menolak atau complain terhadap IF. Aku malah bersyukur akan mendapat pengalaman main dengan Budi.
Dari bathroom kudengar Budi memanggil namaku. Aku bergegas menghampiri nya. Ketika pintu terbuka, terlihat Budi hanya tinggal mengenakan G strings merek Homme yang ketat melekat di pinggangya. Seksi sekali penampakannya. Terlihat juga helai bulu pubicnya tersembul dari sela-sela pahanya. Tidak muat lagi tertampung dalam secarik kain kecil penutup kemaluan.
“Mandi bareng, yuk?”, kata Budi sambil mematikan kran air panas yang mengisi bath tub.
“Ehm, boleh”, sahutku sambil beranjak masuk ke dalam. Baru beberapa langkah aku berjalan, dengan tiba-tiba Budi telah berbalik arah menyergapku.
Aku hampir jatuh karena terkejut dan, terus terang, aku sungguh kaget, dengan serangan yang mendadak itu. Namun dengan refleks, Budi menarik tubuhku sehingga aku terengkuh dalam pelukannya.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Bersambung . . . .