Arisan Syahwat

Hari ini aku dapat banyak kesempatan dalam pertemuan antar teman-teman arisan bulanan. Mereka memesan banyak pakaian untuk anak-anak maupun dewasa dalam rangka menyambut Lebaran 2004 besok. Sepatu, baju, kemeja, celana dan macam-macam lainnya yang aku bisa dapatkan dari pusat grosir di Mangga Dua untuk selanjutnya aku jual kepada teman arisan. Aku sudah menghitung setidaknya 300 potong baju akan habis dalam semingu ini. Belum sepatunya, accesoriesnya dan lain-lainnya.

Tanpa banyak pikir aku langsung panggil taksi menuju Mangga Dua untuk survey barang dan harganya. Hari Senin kebiasaan Jakarta adalah macet di mana-mana. Saat melewati Jl. Pemuda kemacetan ini telah terasa. Ke arah depan maupun ke arah balik sama-sama macetnya. Yang nampak hanyalah deretan mobil-mobil yang merangkak sangat membosankan dan membuat hati jengkel.

“Mobil bagus-bagus. Sayang bukan milik kita ya Bu,” tiba-tiba Abang sopir taksi nyeletuk.
“Iya Bang. Saya kalau pengin beli mesti nabung seratus tahun dulu baru kebeli. He, he…”
“Ah, masak sih Bu?”
“Kok, Abang nggak percaya?”
“Yaa.. Kalau menurut saya sih orang macam ibu kalau mau besok juga sudah dapet beli?”
“Ah, ngawur saja si Abang ini. Bagaimana caranya?” aku tahu Abang sopir memang suka berhumor ria untuk menghilangkan stressny saat macet macam ini.
“Yaachh, ibu. Ini khan Jakarta Bu. Ibu masih muda. Ibu masih nampak semangat. Masih banyak yang naksir, atuh,” jawabnya enteng sambil menyelipkan bahasa Sundanya.
“Emangnya suami saya mau taruh dimana?” sanggahku.
“Ah, maaf Bu. Saya kira ibu masih sendirian. Soalnya nampak masih muda banget, sih”

Dasar lelaki pinter saja membuat perempuan menjadi senang. Kami terdiam beberapa saat. Namun,

“Bener deh, Bu. Saya yakin paling ibu baru 22 atau 23 tahunan,” si Abang sopir menyambung lagi.

Saya merasa berbunga-bunga. Ternyata dalam pandangan orang aku masih begitu muda.

“Ah, Abang, sok tahu nih. Saya khan udah 28 tahun. Menikah sejak 4 tahun lalu. Memang belum punya anak saja”
“Kalau begitu awet muda banget ya, Bu”.

Kemudian terdiam lagi. Kembali aku mengamati kemacetan dan mobil-mobil bagus. Aku jadi mikir omongannya tadi. Si Abang bilang, kalau aku mau besok juga kebeli tuh mobil bagus. Aku jadi pengin tahu, bagaimana cara dapetin tuh mobil dan bagaimana hubungannya dengan ‘kalau aku mau’?

“Gimana tuh Bang, kalau saya mau dapetin mobil bagus menurut kata Abang tadi?” tanyaku lugu.
“Bener nih Bu. Pengin dapetin tuh mobil bagus?” tanyanya kepastian maksud saya.
“Ya, bener dong. Masa nggak mau mobil bagus sih,” jawabku kembali.
“Begini Bu, tetapi jangan marah ya kalau ibu angap saya kurang ajar,” ujarnya santun.
“Enggak deh Bang,” karena keingin tahuanku aku cepat menyergahnya,
“Ada orang nih, namanya Pak Purnawan, dia seorang pengusaha sukses, udah bapak-bapak sih kira-kira 45 tahunan. Tempo hari numpang taksi saya karena kebetulan mobil mewahnya sedang di bengkel. Tuh bapak pesen kalau ada ibu-ibu atau gadis yang cantik, nampak anggun, terhormat, santun dan tampak seusia ibu ini tuh bapak pengin ditemenin makan siang dan berbagai kegiatan dia lainnya di hotel mewah. Bapak itu katanya mau memberikan jasa sebesar Rp. 1 juta per 1 jam untuk nemenin makan atau minum bersama, katanya,” sopir taksi menutup kata-katanya.

Aku memikir sesaat, pasti bapak itu lelaki iseng yang pengin menggoda perempuan macam aku. Tetapi ah, masak untuk menggoda saja dia mau membayar aku Rp. 1 juta per jam. Aku lantas berhitung, kalau dari pagi sampai sore macam orang kerja jadinya Rp. 8 juta, dong. Kalau selama 1 bulan terus menerus berarti aku akan mendapat Rp. 240 juta dong. Ah, masak sih segitu mudahnya. Tiba-tiba si Abang kembali nyeletuk,

“Gimana Bu? Minat? Dia kasih saya kartu nama. Nih ibu bisa lihat”

Kuterima sebentuk kartu nama dari tangannya. Kubaca, tertulis: Drs. Purnawan Candra. President Direktur PT Mulia Mandiri. Bla, bla bla.. dst.

“Orangnya ganteng banget deh, Bu. Pokoknya pasti ibu suka kalau ngelihat dia,” komentar tambahan dari si Abang sopir itu.

Nggak tahu kenapa. Saat aku menerima kartu nama itu dan membacanya hatiku tergetar. Jantungku bergerak cepat dan terasa dug, dug, dug, begitu keras memukul dadaku. Aku sedikit limbung. Rasanya ada yang menyentuh hasrat lain, hasrat yang selama ini sangat kusakralkan, hasrat libidoku, sebagai sesuatu yang hanya diperuntukkan bagi suamiku seorang. Sentuhan seksual dengan seseorang yang bukan suami sebagai bentuk keingkaran yang sangat saya tabukan selama ini.

Jadi, kenapa tiba-tiba perasaan macam ini hadir pada diriku setelah membacai kartu nama kecil itu. Kenapa nafsu keingkaran dengan begitu lembut merambati naluriku. Kenapa tiba-tiba bayangan tidur dengan lelaki lain langsung menyergapku. Bulu kudukku langsung meremang merinding. Uuhh.. Tak mungkin. Aku tak akan mendekat ke sana.

Kartu nama itu terjatuh dari tanganku yang gemetar. Si Abang tak melihat getar tanganku. Diambilnya kartu nama yang terjatuh di samping persnelling kemudinya.

“Saya bisa beritahu dia kalau ibu berkenan,” kata sopir itu seakan tombak sakti menusuk tajam ke telingaku.

Aku semakin limbung. Aku pusing. Kubilang sama sopir agar balik saja. Antarkan aku pulang ke rumahku di Jembatan Ji’ung kawasan Kemayoran. Mengira aku sakit dia serta merta mencari tepian kanan untuk mendapatkan putaran balik. Akhirnya kami melaju pulang. Aku tak banyak bicara. Namun nampaknya sopir ini terus mendesaki aku. filmbokepjepang.com Setelah aku membayar taksi sesuai argometernya, saat tiba di rumah dalam keadaan limbung aku turun dari taksi. Dia rupanya ikut turun untuk membantu membukakan pintu halamanku. Saat itu pula dia selipkan kartu nama dirinya,

“Nih, Bu. Kalau ibu perlu saya sewaktu-waktu, ibu bisa telepon saya,” agak acuh, aku tak mampu menolaknya. Yang aku pikirkan hanyalah secepat masuk rumah, istirahat dan rebah ke ranjangku.

[Beberapa hari kemudian]

Suamiku dapat tugas ke luar kota hingga minggu depan. Tak ada yang kuajak bicara-bicara di rumah. Rasanya aku harus cari kegiatan agar tidak sepi. Namun beberapa hari terakhir ini aku banyak didatangi rasa gelisah. Ucapan sopir taksi tempo harilah yang membuat aku resah tak menentu. Apakah benar aku masih nampak begitu muda. Bagai baru seusia 23 tahun? Apakah benar masih banyak yang naksir aku?

Sesungguhnya komentar macam itu sudah sering kudengar dari orang lain. Dari teman-teman arisan atau tetangga. Bahkan mereka bilang wajah dan postur tubuhku mengingatkan orang kepada Ussy Sulistyowaty bintang sinetron dan presenter yang langsing dan ramah itu. Aku juga menyadari betapa kalau aku jalan ke pasar, banyak anak-anak muda yang mangkal di depan kompleks perumahan berdecak sambil melototi kecantikanku. Mungkin mereka sering membawa aku dalam mimpi-mimpi mereka.

Dan selain dari itu apakah benar ada pengusaha yang mau memberikan aku imbalan berjuta-juta rupiah apabila aku mau menemani makan minum atau berbagai kegiatan lainnya di hotel mewah. Ah.. Benarkah?

Dan uang jutaan rupiah itu benarkah. Sementara suamiku hanya karyawan swasta bergaji Rp. 1.2 juta per bulan. Bagaimana terkejutnya nanti apabila aku berhasil membawa pulang berpuluh juta hanya untuk kegiatanku beberapa hari saja. Apakah dia bisa menerima hal itu. Apakah dia akan cemburu atau curiga apabila aku menemani makan siang bersama boss-boss di hotel mewah?

Tetapi sesungguhnya bukan karena uang itu saja yang membuat aku resah gelisah. Aku menjadi demikian resah setiap membayangkan lelaki selain suamiku. Hasrat libidoku menjadi demikian terangsang. Aku membayangkan seseorang yang tampan ganteng. Yang memeluk bahuku. Kemudian aku bisa bersender di dadanya. Kemudian dia mengecup keningku. Dan kecupannya itu turun ke bibirku. Dan melumat bibirku. Dan aku membalas lumatan itu. Dan tangan-tangan si ganteng itu mulai meraba dan meremasi dadaku. Dan.. Dan.. Dan.. Aacchh.. Jangaann.. Ampuunn..

Dalam keseharian aku memang merupakan perempuan yang mungkin masuk dalam kategori gila seks atau ‘sex maniac’. Aku tak boleh melihat lelaki tampan apalagi tubuhnya macho begitu rupa. Bahkan cerita macam yang disampaikan Bang sopir taksi tempo hari itu benar-benar telah membuat aku demikian gelisah. Rasanya sebelum hasrat syahwatku terpenuhi kegelisahan ini akan terus mengejar aku.

Sementara itu Mas Pardi yang suamiku, orangnya sangat kalem dan tenang. Postur tubuhnya biasa-biasa saja. Dia lebih mengutamakan kerja, kerja, kerja dan kerja. Dalam hal hubungan seksual dia sering memberi aku nasehat jangan terlampau banyak mikir ke sana. Dia belikan aku buku-buku atau peralatan menjahit atau sesuatu yang lain agar aku tidak hanya berpikir seks. Aku harus punya hobby lain. Dia sangat tahu keadaanku serta ‘kehausan’ku.

Namun nasehatnya itu tak bisa membuat aku reda dan sadar sesuai dengan harapannya. Diam-diam aku terus memendam gelora birahi yang menyala-nyala yang memerlukan seseorang lain yang mampu memadamkannya. Aku sesungguhnya merasakan ketidak normalan pada diriku, apalagi aku adalah seorang perempuan yang telah bersuami pula.
Dan sekarang ini nggak tahu kekuatan apa yang menuntunku. Naluriku tiba-tiba mendorongku mengambil dompet dan mengeluarkan catatan kartu dari si Abang sopir taksi itu. Ter-ngiang di telingaku kata-katanya saat menyelipkan ke calam tasku.

“Nih, Bu. Kalau ibu perlu saya sewaktu-waktu, ibu bisa telepon saya”.

Kubaca, Cecep, HP: 0815xx412. Dan timbul dorongan yang begitu kuat agar aku berjalan menuju pesawat telepon serta memutar nomer HP Cecep ini. Sesaat kudengar nada panggil kemudian dari kejauhan. Aku gemetar menahan gejolak hatiku,

“Hallo, halloo.. halloo..”

Aku mendengarkan tetapi tetap diam. Hatiku deg-degan. Jantungku berdegup cepat. Yaa.. Aku ingat suara itu. Suara Cecep si Abang sopir taksi. Aku tegang. Cepat kututup dan kutaruh kembali telponku. Sambungan putus. Aku dikecamuki rasa bimbang.

Tiba-tiba telepon berdering.. Aku biarkan sejalan kebimbanganku.. Namun akhirnya kuangkat juga.

“Hallo… selamat siang Bu.. Maaf saya barusan menerima telepon, apakah dari ibu?” aku setengah hati dan ragu untuk menjawabnya. Namun tiba-tiba bibirku begitu saja nyelonong,
“Oo.. Iya Bang. Eecchh.. Aanu.. Eehhm.. Saya yang tempo hari naik taksi Abang ke Kemayoran…”
“O yaa, saya ingat buu.. Bagaimana kabarnya.. Apa ibu berminat untuk menjadi teman makan siang Pak Purnawan? Kemarin dia nanyain saya lagi.. Orangnya baik lho Bu. Pokoknya ibu nggak usah khawatir. Bagaimana kalau nanti sore? Saya bisa jemput ibu,” si Abang mencecer aku.

Jantungku langsung memukul dadaku kencang. Dan hasrat libidoku bergetar. Kurasakan darah naik mendesaki mukaku.

“Jam berapa?” tanpa pertimbangan kembali mulutku meluncurkan kata-kata.
“Bagaimana kalau jam 4.30 sore. Biasanya Pak Purnawan santai minum kopi di lobby hotel lho”
“B.. Bba.. Baik.. Saya menunggu Bang Cecep saja yaa..”.

Sekali lagi kenapa Kok menjadi begitu gampang aku mengambil keputusan ini. Mungkin karena kebetulan suamiku sedang tak di rumah sehingga hal-hal risiko tak kuhadapi secara langsung.

Begitu telepon kuletakkan aku bengong sesaat. Apa yang akan kulakukan ini? Sudahkah aku tak waras? Aku masih bisa membatalkan kalau aku mau.

Namun itu tak terjadi. Dengan gemetar yang tersisa aku bangkit dan langsung menuju kamar. Masih sekitar 3 jam lagi sebelum Bang sopir menjemputku. Aku berdiri di depan cermin. Kupantas-pantaskan gayaku, kuamati wajahku. Adakah yang mungkin mengganggu tampilanku.

Aku mesti tampil bagaimana nanti? Dengan pakaian macam apa yang harus kupakai? Antara ragu, bimbang dan desakkan obsesiku terus berebut. Dan aku harus berbuat sesuatu..

Akhirnya aku memilih rok dan blus setipis sutra hadiah ulang tahun suamiku berikut jaket dekron dengan tepian ornamen batik. Aku memikirkan banyak kemungkinan. Apabila situasi diperlukan aku bisa melepaskan jaketku untuk menunjukkan bahu dan sedikit celah pinggulku pada pertemuan rok dan blusnya. Aku akan nampak sangat ‘wanita’, feminin, dengan busanaku ini. Dan kemudian tak lupa kusemprotkan dengan hati-hati parfum Lancome, mudah-mudahan yang aslinya nih, di ketiakku, di leher dan sedikit pada lipatan busanaku.

Semua itu kulakukan dengan jantung yang terus berdegup serta darah yang memanas di wajahku. Aku benar-benar sedang memasuki wilayah terlarang. Yang selama selalu ditabukan oleh para istri yang terhormat.

Tepat jam 3 sore Bang Cecep menjemput aku. Tak kupungkiri, aku kembali dipersimpangan bimbang dan ragu. Namun setiap kali organ tubuhku yang melanggarnya. Kakiku demikian saja melangkah keluar rumah menjemput Bang Cecep. Aku telah siap. Aku tak ingin taksi ini berada dan menunggu kelamaan di depan rumah. Nanti mengundang pertanyaan orang. Saat aku keluar kuperhatikan sesaat, tak ada tetangga yang berada di luar. Aku langsung masuk mobil dan taksi meluncur.

Ternyata sore hari ini aku telah mengambil sebuah keputusan besar. Tanpa sepenuhnya kusadari kini aku sedang meluncur menuju sebuah kehidupan pengkhianatan dan perselingkuhan. Aku sedang terjun bebas meninggalkan kesetiaanku pada Mas Pardi suamiku.

“Bang… saya pengin lihat dulu orangnya ya.. Nanti kalau rasanya nggak cocok saya pulang lho,” timbul rasa khawatir dan sedikit takut. Dan itu kusampaikan pada Cecep.
“Ibu nggak usah takut, Bu. Itu nanti terserah Pak Purnawan dan ibu. Pokoknya saya sudah melakukan tugas saya,” jawab Cecep meyakinkan aku.

Taksi meluncur ke jalan Thamrin. Menurut Cecep Pak Purnawan menunggu saya di Grand Hayyat Thamrin. Begitu memasuki area gedung mewah berlantai 20 Cecep membawa aku langsung ke ruang parkir agar bisa mengantar aku menuju lobby hotel. Nampaknya dia paham liku-liku gedung ini.

Sesudah melewati shopping arcade yang menampilkan berbagai barang-barang yang sangat mewah kami sampai di sebuah pintu kaca dengan eskalator. Kami masuk dan naik hingga sampailah ke lobby Grand Hayyat. Setelah celingak-celinguk nampak seseorang melambai ke arah Cecep. Mungkin dia orangnya.

“Mari Bu, tuh Pak Purnawan sudah menunggu,” sambil dia berjalan dan aku mengikutinya.

Hatiku berdebar kencang. Benarkah dia? Pria yang demikian tampan itu. Dia macam bintang selebritis Primus yang pemain sinetron itu. Aahh.. Sungguh mempesona. Dengan dasinya yang demikian serasi nampak lelaki ini sangat aahh.. uuhh.. Aku tak bisa mengungkapkannya. Rasanya ada pancaran yang meluluh-lantakkan sanubariku dari sosok pria yang ingin kutemani minum kopi ini.

Dengan segala pesonanya Pak Purnawan berdiri menyongsong aku. Aku terpana. Di depanku berdiri lelaki jangkung dan sangat macho. Apakah aku bermimpi? Kami saling berjabat tangan memperkenalkan diri,

“Purnawan…”
“Tati,” jawabku agak gemetar.

Sosok itu demikian jangkung di depanku. Aku hanya setinggi pundaknya saja. Selintas hidungku menyergap aroma tubuhnya yang wangi. Sebelum beranjak untuk duduk, dengan ‘handsome’nya Pak Purnawan merogoh kantongnya dan memberikan beberapa lembar ratusan ribu rupiah kepada Cecep sambil,

“Terima kasih Cep”.

Ahh.. aacch.. Yang sangat mempesona. Lelaki itu menunjukkan ‘sex appeal’-nya padaku. Dengan senyum mengembangnya Cecep menerima asongan dari Pak Purnawan. Sepintas dia melihati aku sebelum mengangguk dan pergi.

“Apa kabar jeng Tati? Kita duduk di sana yok…” sambil tangannya meraih tanganku kemudian beralih ke pinggangku, dia membimbing aku menuju meja di pojok lobby dengan pemandangan yang sangat mempesona. Panorama bunderan air mancur dengan patung Selamat Datang-nya yang sangat terkenal itu nampak tepat di depan tempat duduk kami. Aku sungguh sangat tersanjung dengan sikap Pak Purnawan ini.

Aku sepertinya kena sihir. Begitu mudah aku menerima perlakuan Pak Purnawan pada diriku. Begitu tanpa mengelak saat dia meraih tangan dan menggamit pinggangku. Entah karena apa. Mungkin karena suasana kemewahan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Atau memang ketampanan lelaki macam Pak Purnawan yang demikian jauh dari Mas Pardi yang selalu nampak loyo dan kumuh? Dan.. Aku rasa tak ada perempuan yang akan menolak gamitan tangannya. Atau bahkan mungkin tidur dengannya.

Aku masih berpikir, memang beginikah semestinya menemani makan atau minum kopi di hotel?? Pakai membimbing tangan dan merangkul pinggangku? Aku ingin menolak namun khawatir dianggapnya kurang gaul. Aku nggak tahu mesti bagaimana membawakan diriku. Akhirnya yaa.. Kuikuti saja apa yang terjadi. Jangan sampai Pak Purnawan memandangku sebagai perempuan blo’on, khan?

Terus terang rasa banga dan tersanjung berkecamuk dalam diriku. Antara senang karena seorang aku, Tati, yang hanya istri PNS bisa duduk di tempat yang super mewah bersama pria setampan Primus yang bintang sinetron itu. Bagaimana aku bisa menolaknya?? Bukankah ini kesempatanku untuk merasakan bagaimana menikmati hotel termahal di Jakarta dan duduk bersama Pak Purnawan yang pengusaha sukses ini? Adakah tampilanku sesuai dengan tampilan Pak Purnawan ini.

Untung aku telah mempersiapkan diriku secara maksimal menjelang keberangkatan dari rumah tadi. Kupakai gaun pilihanku serta sebentuk perhiasan di leher dan tanganku yang cukup menarik. Aku yakin gaun pilihanku serta aroma Channel No.5 dari tubuhku telah membuat Pak Purnawan tidak ragu atau malu menuntun aku di tempat yang super mewah ini.

Pelayan yang sangat santun datang memberikan katalog mewah berisi daftar minuman atau makanan yang ingin kami pesan. Pak Purnawan bertanya padaku mau pesan apa? Minum apa?

“Terserah Pak Pur sajalah…” jawabku yang kurasakan agak ‘norak’.
“Jangan panggil Pak, jeng.. Memang aku sudah nampak tua?? Mau panggil Mas??” dia melempar senyuman yang begitu tampan menawan. Nampak banget kelelakian Pak.. Eh Mas Purnawan ini. Bagaimana aku mampu menolak rangkulan tangannya.

“Jeng Tati nggak keberatan khan kalau hari pertama ini nemenin saya bersama teman-teman sampai sekitar jam 9 malam nanti?? Yaa.. Total sekitar 4 jam-lah,” reaksi pertamaku adalah menghitung 4 X Rp. 1 juta atau Rp. 4 juta aku bisa bawa pulang sore pertama ini. Hi, hii..
Namun aku tadi mendengar bahwa dia akan bersama teman-temannya? Bagaimana bisa? Ah.. Jangan menjadikan soal. Mas Pur khan pengusaha. Dia pasti memilliki tujuan-tujuan besar untuk pertemuan ini. Bukan hanya semata-mata mencari kesenangan. Dan peranan aku yang ‘menemani’ itu pasti dimaksud untuk lebih melancarkan jalan menuju sasaran besarnya itu. Dan untuk itulah dia berani memberikan imbalan jasa padaku Rp. 1 juta per jamnya. Aku harus tanggap dalam menghadapi hal seperti ini.

“Terserah Mas Pur, kebetulan suami saya juga sedang tugas keluar kota, Kok. Jadi saya bisa bebas,” jawabku sedikit dengan perasaan tergetar. Dalam pikiranku Mas Purnawan akan ‘memakai’ aku selama 4 jam. Hasrat libidoku menggeliat.

“Oo.. Kebetulan, aku lebih suka berhubungan dengan wanita yang telah bersuami, jadinya nggak banyak risiko gitu…” sambil tangannya kembali meraih tanganku.

Namun kali ini pegangan tangannya itu disertai pula dengan remasan halus pada jemariku. Dan remasan itu seperti ‘stroom’ listrik. Menjalar menelusuri urat darah dan saraf-saraf peka dalam tubuhku. Sepertinya aku tak kuasa menerima ‘stroom’ macam ini.

“Untuk makan malam saya telah minta hotel untuk menyiapkan dalam kamar nanti. Habis minum ini kita langsung saja naik ke kamar. Nanti teman-teman saya pasti menyusul ke atas”

Mas Pur mengangkat gelas dan menunggu aku mengangkat gelasku. Kami mengadu gelas kami hingga terdengar suara ‘ting’, kami lantas meneguk minuman yang masih terasa asing di lidahku. Namun aku akan tetap berlagak bahwa hal-hal seperti ini telah biasa aku lakukan pula. Beberapa menit saat berjalan menuju kamar, pandangan mataku mulai melayang. Entah minuman macam apa yang telah kutelan tadi.

Kami memasuki sebuah kamar vvip yang sangat mewah. Sepanjang jalan tak lepas-lepasnya Mas Pur meremasi tanganku sambil merapatkan tubuh harumnya ke tubuhku. photomemek.com Semua suasana dan kondisi ini membuat aku tak sempat lagi bertanya. Aku menerima begitu saja apa yang terjadi. Bahkan aku sadar aku mulai memasuki gerbang yang selama ini tabu bagiku. Aku telah berada di tengah-tengah nalar selingkuh yang penuh ingkar janji setiaku pada suamiku.

Kehausan dan obsesiku sendiri selama ini, yang kemudian dipicu oleh pertemuannya dengani Cecep sopir taksi itu benar-benar mematangkan situasi dan hasrat libidoku. Aku kini bukan hanya telah larut, bahkan aku serasa ingin cepat menggapai nikmatnya badai birahi bersama Mas Purnawan ini. Nafsu syahwatkulah yang menjawab dengan hangat setiap remasan tangannya.

Begitu masuk kamarnya yang sangat mewah dalam pandangan mataku Mas Pur menekan daun pintu. Sesaat kami berpandangan dan saling melepas senyuman sebelum akhirnya kami saling berpagut. Aku gemetar. Sungguh merupakan sensasi hasrat seksualku. Inilah peristiwa pertama dalam hidupku. Aku menyadari bahwa yang kini memeluk dan mencium atau yang kupeluk dan kucium bukanlah Mas Pardi suamiku. Aku menyadari bahwa kini aku sedang berselingkuh meninggalkan janji kesetiaanku pada suamiku.

Kami lama berpagut saling menukar lidah dan ludah. Sungguh hebat nikmat perselingkuhan ini. Aku jadi ingat masa kecilku dulu. Bagaimana nikmatnya mencuri jambu tetangga. Jambu yang relatip muda belum manis itu terasa lebih nikmat dari jambu yang benar-benar masak kiriman tetangga pemilik jambu itu. Dan itu yang kini sedang melanda aku. Kenikmatan mencuri. Mungkin mencuri itulah penyebab nikmatnya.

Demikian pula ‘selingkuh’. Pada saat selingkuh ini kita menghadapi berbagai ancaman. Kemungkinan suatu saat ketahuan karena ada yang melihat dan melapor dan ‘rasa dosa’ atas ingkarnya janji. Rasa dosa yang akan terus mengejar kita bisa membuat penderitaan tersendiri. Namun sebagaimana yang sedang melanda hasrat seksualku kini, semua ancaman itu rasanya aku abaikan. Que serra serra, begitulan orang Spanyol bilang. Terjadilah apa yang musti terjadi, pokoknya selingkuh jalan teruuss..

Kurasakan remasan tangan Mas Pur pada bahuku. Remasan itu mengantarkan aku menjenjangi birahiku. Jantungku berdegup kencang. Kini aku dalam pelukan nikmat curian dari lelaki yang bukan suamiku. Dan aku terhanyut deras tanpa pertimbangan.

Lumatan lidah Mas Purnawan sungguh memabukkan. Aku rasakan betapa pipi dan dagunya yang baru bercukur terasa kasar merangsang saraf-saraf birahiku. Aku sepertinya terlempar keawang-awang. Nggak tahu untuk turun di mana nantinya. Yang kulakukan adalah mengikuti naluri dan refleksku, memperkuat rangkulan dan gantunganku pada lehernya. Aku rasakan tangan-tangan Mas Pur sibuk melepasi blazer-ku. Dan dilemparkannya begitu saja ke sofa di samping pintu. Memang aku menjadi lebih nyaman.

Tangannya yang kekar mulai merogoh blus dan kurasakan saat jari-jarinya menyentuh merabai pentilku. Buah dadaku diremasinya. Perasaanku tak terkatakan. Nikmatnya berselingkuh, lelaki yang bukan suami memerosoti baju dan meremasi susu, dduuhh.. Aku langsung sanja menyerah karena kemikmatan yang tak terhingga ini. Aku benamkan wajahku ke lehernya sambil merintih.

“Mm.. Mas Puurr.. Amppunn.. Nikmat banget seehh…” aku menyapukan lidahku pada lehernya. Gelegak nafsu yang tak terbendung. Aku telah kehilangan rasa takut dan malu. Aku menjerit dan meracau,

“Mmaass.. Maass.. Hheecchh…” sambil lidahku terus menjilat dan bibirku mengecupi leher Mas Purnawan. Hal ini membuat remasan tangannya pada payudaraku lebih menggila. Dia lepasi blusku dan kembali dilemparkannya ke sofa. Kini aku telanjang dada. Mas Pur langsung menyungsepkan wajahnya ke dadaku. Dia mulai mengulum pentilku dan menyusu bak bayi manja.

Gelinjangku tak tertahankan. Aku menggeliat-geliat dan naluri syahwatku menuntun pinggul dan pantatku menggoyang dan menekan arah selangkangan Mas Pur. Di sana aku merasakan tonjolan besar mengganjal selangkanganku. Aku pastikan Mas Pur telah sangat terangsang birahinya. Dan ‘kehausan’-ku mendorong tanganku untuk merabai kemejanya, menyusup ke dalamnya dan menjamah punggungnya yang gempal macho itu.

Dengan tetap berdiri merapat pada daun pintu Mas Pur kembali memeluk erat pinggul dan bahuku, untuk memberi kesempatan tangan-tangan lentikku melepasi dasi dan kancing kemejanya. Aacchhzz.. Betapa menggelitik birahiku saat lidahnya menjilat kemudian bibirnya melumat leherku. Aku rasa cairan vaginaku sudah mulai terdesak membanjir keluar.

Saat kulepasi kemejanya, yang di hadapanku dan dalam pelukanku kini adalah dada bidang lelaki yang sangat jantan. Kurabai bisepnya, tanpa kusadari dalam meraba itu aku mendesah. Sentuhan syahwat begitu merangsang nafsuku. Aku ingin menjamah apapun yang bisa kujamah dari tubuh Mas Pur. Aneh, tiba-tiba aku menjadi liar. Sangat liar. Dalam kondisi macam itu tak terpikirkan sama sekali olehku dimana dan bagaimana Mas Pardi suamiku kini.

Bibir Mas Pur menjalari pori leherku. Sepertinya aku tak lagi menginjak tanah. Perasaan melayang dalam alun badai nikmat yang tak terhingga. Yang kudengar hanyalah degup jantungku sendiri dan kecipat kecupan bibir-bibir Mas Pur yang terus melata.

Aku merasakan tangan Mas Pur mulai menggerilya gaun bawahku. Ada kancing dan tali lembut yang dia lepaskan dan urai. Nafsuku menggelegak. Rasanya aku sedang dalam pintu pembantaian nikmat syahwatku. Desah dan lenguhku menyertai terampilnya tangan Mas Pur hingga seluruh gaunku merosot ke lantai. Dinginnya AC kamar mewah terasa menerpai tubuh setengah telanjangku. Namun hanya sesaat.

Dingin itu langsung lenyap saat lidah dan bibir Mas Pur kembali menjilat dan menyedoti payudaraku. Kali ini aku merasakan lebih merangsang nafsuku karena aku hampir bugil kecuali celana dalamku yang tinggal.

Wajahnya diusel-uselkan ke belahan dadaku. Jangan tanya rasanya. Glyeerr.. Rasa stroom listrik menyentak dan menjalar ke seluruh tubuhku. Aku menahan gejolak dengan mengaduh nikmat. Menutup mata sambil menengadahkan muka ke langit-langit merasakan betapa aliran syahwat nikmat itu menelusur kemudian membakar seluruh saraf-saraf lembut tubuhku. Aku menggelinjang hebat.

Dalam posisi mendekap sambil menyedoti payudaraku di bawah sana, di antara pahaku mulai kurasakan batang panas yang didesak-desakkan ke arah vaginaku. Aku rasakan, kejantanan Mas Pur mulai beringas mencari sarangnya. Tanpa sepengetahuanku Mas Pur ternyata telah berbugil. Ahh.. Sungguh terampil dan berpengalaman.

Dan akhirnya celana dalamku juga direnggut oleh tangan-tangan kokoh Mas Pur. Sambil memelukku dengan tetap berdiri bersandar pada daun pintu dia melolosi seluruh busanaku. Kami benar-benar telah berbugil ria. Tubuh hangatnya menggelitik tubuhku. Gelombang kontur tubuhnya merapat kurasakan bersentuhan dengan gelombang kontur tubuhku. Sambil terus berpagut saling lumat dan jilat kami beradu keringat dan aroma tubuh dalam kamar mewah Grand Hayyat ini.

Tanganku diraihnya. Dia tuntun untuk menjamah kemaluannya. Aku tergetar. Seumur-umur belum pernah aku menyaksikan kemaluan lelaki kecuali milik Mas Pardi yang suamiku. Kini bukan hanya melihat. Mas Purnawan ingin aku merabai dan menggenggam kontolnya.
Kurasakan tanganku gemetar saat turun dibimbing tangan Mas Pur. Dan ketika akhirnya aku menyentuhnya, yang kurasakan awalnya adalah daging liat yang hangat dan berdenyut-denyut. Aku merabai dan tak ayal menggenggamnya. Ampunn.. Kurasakan seperti menjamah jagung manis di counter sayur Carrefour. Panjang dan.. duuhh.. gedenya begitu terasa dalam genggaman.. Tersentuh pula bulu-bulunya yang terasa lebih kasar dan kaku dari milik Mas Pardi.

Aku bergidik akan besar dan kenyalnya. Nafsu syahwatku menggelegak. Tak bisa kubayangkan nikmat yang bakal melandaku saat batang ini nanti menembusi memekku. Tanganku mencoba mengelus dan mengurutinya. Aku meremas-remas dengan penuh gemas.

Dengan sedikit beringsut hingga posisi Mas Pur mendekap aku dari arah belakang dengan tangan kekarnya Mas Pur merabai pahaku untuk kemudian meraih dan mengangkatnya tinggi-tinggi hingga hampir menyentuh dadaku. Bersamaan dengan bibirnya yang melepaskan jilatan dan pagutan pada leher dan bahuku pinggulnya bergerak menggoyang maju mundur menggesek-gesekkan kemaluannya hingga menyentuhi gerbang kemaluanku. Hebat. Dari arah belakangpun ternyata aku merasakan kenikmatan yang sungguh sensasional.

“Adduuhh.. dduuhh.. aamppuunn.. Mmaass Ppuurr…”

Kemaluannya terasa mendesaki bibir vaginaku. Dan rasa gatal birahi langsung menyergapku. Aku tahu kemaluanku saat ini telah sangat membasah. Alunan rayu, gesek, sentuh, lata dan kecup dengan disertai geram, perih, rintih dan kecupan telah demikan merangsang hasrat syahwatku. Akibatnya cairan birahiku tak mampu kubendung, Itulah yang kini menerima gesekkan dari kemaluan Mas Pur. Dan aku pasrah.

Kini pahaku yang telah terangkat untuk membuka gerbang kemaluanku. Akankah Mas Pur akan memasukkan kontolnya ke kemaluanku dengan tetap dalam posisi berdiri dan bersender pada daun pintu ini? Namun pertanyaan itu tak pernah terjawab. Gelitik nafsu birahi dan rangsangan syahwat yang dahsyat telah membuat segalanya jadi mungkin. Aku merasakan ujung kontol Mas Pur telah menggelitik dan mendesaki bibir vaginaku. Aku pikir ini luar biasa. Sungguh sangat merangsang keingintahuan birahiku. Dengan mendatangi dari arah belakang, kemaluan Mas Pur bisa menembusi lubang vaginaku. Artinya betapa panjang kemaluan itu.

Dan dengan beberapa kali mendesak dan menghentak, menggerakan maju mundur pantatnya untuk mendorong kemaluannya mendesaki kemaluanku, akhirnya bibir vaginaku merekah menerima kehadiran kontol ini.

“Add.. Aduuhh.. Amm.. Ppuunn.. Zzhh.. Maazz Phhurr.. Eenhaakk bhaangeett.. Teeruzz..”

Aku langsung melayang dalam mabok nikmat syahwatku. Secara refelks pantatku bergerak menggoyang menjemputi rasa gatal yang tak terkatakan. Dinding-dinding vaginaku rasanya menuntut garukan-garukan. Dan berharap batang kontol Mas Pur yang terasa mulai melesak ini menggaruki kegatalan syahwatku. Aku berteriak dan mendesis, sementara Mas Pur langsung memberikan serangan nikmat susulan. Bibirnya memagut leherku dan melumatinya. Aku hanya mendesis menahan nikmat sambil menggeliat ke arah belakang. Aku berusaha mencari sesuatu yang bisa kupegang.

Yang kemudian terjadi adalah ayunan pompaan yang mendera kemaluanku. Kontol Mas Pur terasa merambah semua sudut-sudut vaginaku dan merangsang saraf-saraf pekaku. Aku histeris. Dengan segala upaya dan cara menggenjot balik pompaan kontol Mas Pur. Rasanya seluruh lubang vaginaku telah mencengkeram ketat dan legit kontol gede ini. Daann..

“Amppunn.. Aku tak sanguupp Maazz..”

Dengan cengkeraman pada rambutnya yang langsung membuat bibirnya menerkam dan menyedoti bahu, lengan kemudian lembah ketiakku mendorong aku dengan kilat meroket menuju puncak syahwatku. Dengan kelojotan pinggulku aku kembali menjambaki sambil merasakan bagaimana tegang dan peka urat-urat saraf vaginaku dirambati datangnya orgasme. Yaacchh.. Aku mendapatkan orgasme yang sangat nikmat dari Mas Pur. Orgasme yang jarang kudapatkan saat aku berhubungan dengan Mas Pardi.

Aku tak mampu lagi berdiri. Kami berdua rubuh ke karpet kamar mewah Grand Hayyat ini. Ini adalah pengalaman orgasme terpanjang yang belum pernah aku alami. Rasanya seluruh sendi-sendi dan saraf-sarafku dilolosi dari akarnya. Aku terjatuh lunglai.

Namun ternyata Mas Pur masih penasaran dan terus memacu. Dia semakin ganas. Tanpa memperhatikan kelelahanku dalam posisi rubuh, cepat diraihnya tubuhku sehingga aku seperti bayi yang sedang merangkak. Dengan bertumpu pada kedua sikutku aku nungging menanti apa yang Mas Pur perbuat. Rambutku telah balau. Keringat tubuhku membuat mukaku setengah telungkup tertutup oleh rambutku yang terurai.

Aku merintih pelan saat kurasakan kembali kontol Mas Pur menggelitik dan mendesaki kemaluanku yang semakin becek. Kembali dari arah belakang macam anjing kawin, Mas Pur memasukkan kemaluannya dan menusukki vaginaku kembali. Kali ini tingkah Mas Pur liar dan buas banget. Dia raih rambutku dan dijadikannya tali kekang sambil memompakan kemaluan besar dan panjangnya.

“Ayyoo.. Jeng Tatii.. Puaskan akuu.. Ayoo.. Enak khan..? Kontolku gedee.. Yaa.. Enak khan kontolkuu..? Pasti lebih enak dari pada milik suamimu khaann..?? Ayyoo.. Jengg Tattii…” Mas Pur terus meracau saat menapaki puncak syahwatnya.

Aku tahu dia sedang keadaan trance penuh nikmat birahi. Pasti rasanya seperti melayang-layang tanpa batas. Aku harus membantu agar dia benar-benar tuntas mengalami ejakulasi. Aku harus membantunya agar sperma bisa sebanyak mungkin terkuras habis. Aku tahu bagaimana cara itu,

“Oocchh Maass Puurr.. Enaakk bangett.. Enak banget kontol Mas Purr.. Aku nggak tahan Maass.. Tatii mau kontol Mas Pur selamamnya.. Oocchh..”.

Dan ternyata desah dan rintihku benar-benar telah mendongkrak puncak birahinya. Mas Pur mempercepat genjotannya. Aku mulai merasakan pedih perih.. Rasanya bisa jebol memekku ini.

Tusukkan-tusukkannya itu menyentuh dinding rahimku. Dan hal itu justru membangkitkan kembali gairah syahwatku. Aku dilanda kenikmatan nafsu birahi yang hebat kembali. Bahkan aku juga kembali ikut menjemputi kontol gede itu dengan segala nikmat syahwatku. Ruang vaginaku mencengkeram ketat legitnya batang kemaluan Mas Pur membuat aku lupa segalanya. Ketika pompaan semakin cepat yang menandai Mas Pur mendekati puncak syahwatnya aku merintih dalam nikmat tinggi.

“Mas Puurr.. Enhakk bangett.. Mas Purr.. Enhaakk bangett.. Mas Puurr…” sambil aku terus menggoyang pinggulku menjemputi pompaan kemaluannya yang semakin legit ini.
“Enak mannaa sama kontol suamimu.. Hheecchh?? Enak maannaa sama kontol suamimu heecchh?? Enaakk maannaa..??” merintih dan mendesah bersamaan terlontar dari bibirku.
“Enhhaak Mas Pur punyaa.. Enhhaak punyaa Mas Puurr…” kata-kata itu membuat Mas Pur langsung rebah mendekap tubuhku.

Kedua tangannya meremasi payudaraku sambil bibirnya menyedot keras punggungku. Dan kontolnya yang demikian keras berpacu dalam vaginaku kurasakan menembakkan cairan yang sangat panas. Dan akhirnya datang juga. Mas Pur menjambak keras rambutku dan menariknya seperti menghela kuda tunggangnya. Dengan teriakkan histerisnya kurasakan kedutan besar mengisi rongga memekku. Kedutan itu memancarkan cairan panas. Kemudian disusul kedutan-kedutan berikutnya. Berliter-liter air mani Mas Pur langsung memenuhi vaginaku. Mas Pur masih terus memacunya hingga keringatnya luluh membasahi tubuh-tubuh kami sebelumnya akhirnya rebah telentang ke lantai.

Beberapa saat sunyi. Yang terdengar adalah nafas-nafas panjang Mas Pur dan nafasku sendiri. Kini kusaksikan kemaluan Mas Pur. Sungguh luar biasa. Kemaluan itu kini lunglai jatuh ke perutnya. Namun lihat. Dalam keadaan lunglai panjangnya masih hampir menyentuh pusernya. Kulihat batangnya belepotan dengan cairan kental. Sperma Mas Pur masih menyelimuti kontol yang telah memberiku kenikmatan yang tak terhingga tadi.

Entah dorongan dari mana, mungkin karena terobsesi dari video porno, tanpa sadar tanganku bergerak meraihnya. Kuelusi kontol lunglai ini. Jari-jariku menyentuh lengket spermanya. Aku jadi merangkak bangun untuk mengamati lebih dekat.

Aroma kemaluan dan sperma Mas Pur menyerbak hidungku. Aku tergoda untuk mencicipinya. Kembali aku mengalami sensasi seksual yang luar biasa. Aku menjulurkan lidahku dan menjilat batang kemaluan itu. Terus menjilat-jilat dan kemudian mulai mengulumnya. Aku membersihkan lengket sperma Mas Pur di batang kontolnya. Mas Pur menggeliat meraih rambutku.

“Jeng.. Bangun dulu yaa.. Sebentar lagi teman-temanku datang. Kita mandi dulu yyook…”

Nampaknya dia lebih senang menunda kenikmatan jilatanku. Dia bangun dan bergerak mengambil sebuah bungkusan besar. Ternyata untuk aku telah tersedia seperangkat pakaian ganti yang cukup sesuai untukku.

Sesudah mandi kami ke ruang sebelah. Di tempat itu kulihat makanan yang sangat lengkap telah tertata rapi. Rupanya selama kami mandi petugas restoran room service telah menata ruang itu dan siap untuk acara makan bersama.
Tak lama kemudian Mas Barus dan Pak Hermawan, demikian aku diperkenalkan oleh Mas Pur, hadir ke kamar. Bersama mereka kami menikmati jamuan makan malam yang sangat lengkap dan mewah ini. Mas Pur bilang teman-temannya ini adalah orang-orang yang telah berjasa bagi perusahaannya. Merupakan kewajiban bagi Mas Pur untuk memberikan kesenangan bagi mereka berdua. Dia juga minta agar aku ikut membantunya. Aku tak begitu paham apa yang dia maksud. Namun secara sopan santun aku mengangguk saja dengan apa yang Mas Pur bicarakan itu.

Mas Barus orangnya sangat supel dan penuh humor. Mukanya nampak jantan dengan kumis dan jambangnya yang tipis. Kalau melihat garis wajahnya kelihatannya dia masih punya darah orang Arabnya. Tubuhnya sangat terawat. Dia bilang senang main tenis. Nampak biseps-nya begitu menonjol dari lengannya. Ketampanan Mas Barus tak kalah dari Mas Pur. Kalau tersenyum nampak pipinya ada cekung yang membuatnya nampak ‘handsome’ banget-banget. Aku membayangkan seandainya dia telanjang. Adakah kemaluannya juga segede punya Mas Pur? Acchh.. Kenapa otakku jadi liar begini..

Pak Hermawan nampaknya menjadi senior di ruangan makan ini. Nampak kalem, tenang namun sangat berwibawa. Saat dia bicara semua orang dengan cermat mendengarinya. Dan yang menarik adalah berkali-kali dia mencuri pandang padaku. Pada dadaku, pada rambutku, pada bibirku. Macam anjing hyena pemakan sisa, nampaknya Pak Hermawan ingin melahap aku pula.

Tiba-tiba telepon genggam Mas Barus berdering. Sejenak dia bicara dan kemudian telepon diserahkan Mas Pur. Nampak pembicaraan cukup serius. Pada akhir telepon dia memandang aku.

“Jeng Tati, saya dan Mas Barus mesti turun ke lobby. Ada tamu dari Surabaya yang memang telah janji sebelumnya. Tak lama. Paling sekitar 1 jam. Tolong temenin Pak Hermawan. Kalau mau pesan minuman panggil saja room service. Maaf Pak Hermawan, saya tinggal dulu. Bapak santai saja. Kalau lelah bapak bisa istirahat di kamar saya”

Maka Mas Pur dan Mas Baruspun meninggalkan aku bersama Pak Hermawan di kamarnya.

Aku merasa aneh. Namun aku ingat pesan Mas Pur tadi agar aku membantu dia ikut menyenangkan para tamunya. Bagaimana kalau Pak Hermawan minta aku untuk melayani kelelakiannya? Bukankah dia juga lelaki yang normal? Apakah memang itu yang dimaksud Mas Pur? Ahh.. Aku percayakan saja padanya. Pasti dia telah perhitungkan semua ini. Bagiku yang penting malam ini harus pulang dengan beberapa juta rupiah Sesuai omongan sopir taksi itu.

Ternyata benar dugaanku. Bak macan lapar, begitu Mas Purnawan meninggalkan ruangan Pak Hermawan langsung menerkam aku dan menyeret aku ke sofa yang ada di ruangan itu. Ditariknya aku untuk jatuh kepangkuannya. Tangan kirinya menyingkap gaunku untuk mengoboki kemaluanku, sementara bibirnya langsung nyosor melumat gigit payudaraku. Aku hampir terjatuh kehilangan keseimbangan. Namun apa yang dilakukan Pak Hermawan justru membuat hasrat seksualku langsung berkobar. Jari-jari tangannya yang bermain di bibir kemaluanku memberiku kenikmatan yang tak terhingga.

Aku merasakan betapa keranjingan Pak Hermawan pada tubuhku. Dia begitu kasar dan rakus untuk melumat-lumat bagian-bagian sensualku. Merupakan kenikmatan untuk menyerahkan tubuhku padanya. Bagai rusa kecil yang telah gemetar luluh menghadapi kerakusan pemangsanya, aku tak kuasa untuk menghindar. Yang aku upayakan kemudian adalah menyongsongnya sebagai korban yang tak terhindari. Demikianlah posisiku kini. Dan aku menyerah untuk menikmati sebagai korban keganasan Pak Hermawan. Aku melakukan penyesuaian dengan naluri seksualku sendiri.

“Kamu pelacur, khan? Hehh.. Kamu placur khan?? Tadi sudah berapa kali kamu dientot si Purnawan? Aku hanya dikasih sisanya yahh??”

Sungguh bagai disambar petir aku mendengar ocehan Pak Hermawan ini. Sangat menghina padaku dan merendahkan martabatku. Aku yakin itu disebabkan berkobarnya nafsu birahinya padaku. Kemudian dia hela tubuhku, dia renggut kepalaku ditariknya agar menunduk ke arah selangkangannya.

“Ayoo, sekarang kamu isep kontolku,” sambil menyentak rambutku hingga kulit kepalaku seakan mau copot, terasa pedih.
“Ayyoo… kamu lepasi celanaku. Ayoo, isep kontolku,” tarikannya makin mengeras dan aku semakin merasa tertekan dan khawatir kalau Pak Hermawan berlaku lebih kasar lagi.

Aku langsung kalah. Dengan sebelumnya aku harus melepasi sepatu dan kaos kakinya kini tanganku mulai melepasi ikat pinggang, kancing celana panjangnya dan menariknya hingga lepas ke lantai. Dan Pak Hermawan melepasi sendiri celana pendeknya hingga tinggal CD-nya yang Calvin Klein putih bersih itu. Nampak kontolnya membayang diagonal, menggunung dengan stir kanan. Melihat gundukkan di selangkangannya aku yakin kontol Pak Hermawan termasuk skala ‘monster’juga.

“Cepat, pelacurku. Sini kamu jilati dulu kakiku. Ayoocchh…”

Kembali kekasarannya ditunjukkan padaku. Nafsu birahinya yang sangat besar membuatnya menjadi serba kasar dan tak sabar. Tahu-tahu telapak kakinya yang bau sepatu sudah melekat ke wajahku.

Dan.. Entah kenapa.. Aku justru sangat terangsang mendengar hinaan dan caciannya. Perlakuan kasarnya padaku hingga merendahkan martabatku ini malahan membuat aku tersihir dalam khayal syahwat seorang budak atau pelacur sesuai umpatannya. Kini dengan gelegak dan kobar birahi aku meraih kakinya. Aku mulai menjilat.

Kuciumi telapak kakinya dan kukulum jari-jarinya. Rasanya ingin muntah saat aroma sepatunya langsung menyengat hidungku. Namun gejolak dan khayal budak syahwatku akhirnya lebih menundukkanku.

“Oouuchh.. Enaknya Tatii.. Enak.. Terus jilati telapak kakikuu.. Enak Tattii.. Kamu memang cabokuu.. Pelacurkuu…” Pak Hermawan terus meracau dan melontarkan hinaan yang kini sepenuhnya kunikmati. Sesudah puas dengan telapak dan jari-jari kakinya ciuman dan jilatanku bergeser.

Dengan penuh birahi lidahku melata ke betisnya yang penuh bulu, kemudian naik lagi ke lututnya. Bulu-bulu kakinya terasa lembut menari di lidahku. Aku mendengar desah histeris dari mulut Pak Hermawan. Desah-desahnya itu membuat aku semakin terbakar birahi. Lidahku langsung merangsek ke pahanya kanan dan kiri. Pak Hermawan tak mampu menahan kegelian syahwatnya. Dia mengguling-gulingkan tubuhnya, namun tanganku sudah memeluk erat untuk menggigiti dan menyedoti pori-pori pahanya.

Tak kupungkiri bahwa akhirnya seperti kuda binal kini justru akulah yang memimpin pergumulan syahwat ini. Pak Hermawan hanya pasrah menerima nikmat sambil sesekali tangannya menahan kepalaku karena kegeliannya dan dilain kali meremasi tepian sofa sambil mengerang dan mendesis-desis.

Dan saat rambahan lidahku melatai selangkangannya tak tertahankan lagi Pak Hermawan menjerit keras dengan cacian kasarnya…

“Aarcchh.. Dasar lonte… pelacur jalanan.. Anjing betina.. Jilat teruss.. Yaa.. Anjingkuu.. Lonteku…” sungguh kata-kata kasar yang semakin menyemangati gairah birahiku.

Lidahku menjilati tepian Calvin Klein-nya. Aroma selangkangan lelaki jantan menusuk hidungku. Dengan penuh keheranan pada diri sendiri aku mulai menggigit tepian CD-nya itu dan menarik untuk melepaskan dari tempatnya. Aku ingin menelanjangi Pak Hermawan dengan bibir dan gigiku. Tak perlu lepas seluruhnya.

Begitu aku menyaksikan kontolnya nge-per karena lepas dari ikatan CD-nya aku terpana. Ternyata kontol Pak Hermawan luar biasa gede dan panjangnya. Mungkin macam inilah yang disebut ‘monster cock’. Batang itu keras kenyal dengan gagahnya tegak miring mengarah ke pusernya. Urat-uratnya nampak melingkar-lingkar menahan desakan darah nadinya di seputar batangan itu.

Kepalanya yang menampakkan belahan merekah menuju lubang kencingnya sangat mengkilat karena desakan darah nafsunya yang menyesaki batang kontol itu. Barangkali kalau diukur akan menemukan 20 cm panjang dengan garis tengah untuk genggaman sekitar 6 cm. Aku jadi ingat kemaluan Mas Pardi yang mungkin hanya seperempatnya.

Kini akan kuupayakan agar kontolnya benar-benar kehausan untuk dipuaskan. Aku ingin membuat Pak Hermawan lebih liar. Dengan sepenuh pesona aku menghampirkan lidah dan hidungku ke kemaluannya. Kutempelkan untuk menghirupi baunya. Dan lidahku menjilati asin keringat batangan itu. Kugelitik dengan lidah urat-urat yang melingkar-lingkar itu. Kucucup tepian ‘topi baja’-nya. Kujilati lubang kencingnya. Pak Hermawan menggelinjang hebat dengan desis tertahan. Nafasnya memburu, racauannya semakin terbata-bata..’

“Aachh.. Enakk banget Tatii.. Kamu inter banget Tattii.. Kamu bener-bener lonte yaa??”

Tangannya langsung menjambak keras rambutku. Dia tekan wajahku agar aku cepat mengulum kontolnya itu. Hasrat libidoku langsung melonjak saat bibirku menyentuh tepian kepala kontol itu. Hidungku yang meyergap aromanya langsung merangsang birahiku. Aku ingin dia melolong puas oleh layanan syahwatku.

Saat akhirnya dia jejalkan kontolnya itu ke mulutku akupun pasrah dengan menerima dan melahapnya sebagaimana harapan Pak Hermawan. Aku mencoba mencari kenikmatannya. Aku berpikir apabila orang lain bisa melakukannya, kenapa aku mesti menolaknya. Aku percaya pasti kutemukan kenikmatan besar dari sedotan dan kulumanku pada kontol ini. Dan itu kudapatkan.
“Ampuunn.. Tatii… amppuunn.. bibir kamu enak bangeett… belum pernah aa.. kk.. akuu dapat bibir macam inii…” sambil menggelinjang-gelinjang Pak Hermawan menahan derita birahi syahwatnya.

Dia remasi tepian jok sofa Grand Hayyat yang mewah itu. Terkadang pinggulnya menyentak menahan serangan geli syahwat yang tak terhingga. Dia juga mengayun-ayunkan pantatnya maju mundur mendorong kemaluannya mengentot mulutku. Aku semakin melayang dalam badai birahi yang melanda diriku. Seluruh tubuhku serasa dijangkiti peka nafsuku yang berkobar. Senggolan-senggolan kecil pada setiap organ tubuhku dengan bagian tubuh Pak Hermawan sepertinya merangsang dan memberikan kenikmatan tak terhingga.

Saraf-saraf peka pada ujung lidahku memberikan kenikmatan jilatan pada semua bagian yang bisa kugapai dengan lidahku ini. Aku menyertai seruputan bibir setiap lidah melata pada centi demi senti dari bijih pelir hingga sepanjang batang kontol Pak Hermawan.

Genjotan maju mundur pantat Pak Hermawan semakin keras dan cepat. Pasti dia sedang mengayuh deras mengejar kepuasan puncak syahwatnya. Kontolnya semakin membengkak dan mengeras. Aku yakin spermanya tengah menjalari urat-uratnya untuk meletup muncrat.

Mulutnya kembali meracau,

“Lontekuu.. pelacur murahann.. anjing penjilat jalanan.. ayyoo.. puas-puasi yyaa.. biar kamu puasi menjilati kontol yaa.. kontolku enak khann..? Kontolku gede dan nikmatt yaa..?! Ayyoo.. Tattii cabokuu.. anjingku.. lonte jalanankuu.. jilati teruzz..”.

Aku sudah dalam keadaan ‘trance’ nikmat. Mataku tengah membeliak meninggalkan putihnya. Aku melayang dalam topan badai birahiku. Segala umpatan, hinaan dan racau Pak Hermawan sepertinya menjadi bumbu masak penyedap yang membuat kenikmatan selingkuh dan ingkar janji pada suami ini semakin demikian nikmat rasanya.

“Aarrcchh.. Tattii, Tatii… Tatii.. Tattii…”

Direnggutnya kepalaku, ditariknya rambutku. Rasa pedih pada kulit kepalaku menyertai muncratnya air mani Pak Hermawan yang panas tumpah ke rongga mulutku. Tak pernah ingin aku menerima tumpahan air mani Mas Pardi suamiku, kini justru dari Pak Hermawan mengalir deras memenuhi mulutku.

Begitu usai menyemprotkan cadangan spermanya Pak Hermawan langsung rubuh lelah kemudian merosot dari sofa ke lantai. Terdengar nafasnya yang ngos-ngosan sambil berbisik,

“Maafin saya Tati.. Omongan tadi sangat kasar yaa..”.

Aku malahan tersenyum sambil tanganku meraih dagunya dan mengelusinya,

“Nggak apa-apa, Pak. Aku mengerti kok…”

Tanganku meraba turun dan menangkap kontolnya yang nampak masih lunglai. Jari-jariku memilin pelan. Mengusap-usap sperma kental yang masih melumurinya. Terus terang aku sangat berharap kontol gede dan panjang itu kembali tegang dan mengaduk-aduk vaginaku. Aku sudah nggak sabar menantikan gesekan-gesekan pada dinding-dinding vaginaku. Pak Hermawan tahu.

Akhirnya dia berdiri dan mengajak aku ke ranjang. Kami langsung rebah dalam pagutan. Dan kurasakan pelan tetapi pasti kemaluannya mulai kembali menegang.

Aku lumat habis bibir dan lidahnya. Kusedoti ludahnya sambil tanganku meremasi punggung kemudian pentil dadanya yang berbulu itu. Hasilnya langsung kurasakan, kontol Pak Hermawan semakin menegang dan keras kembali. Kini kutuntun tubuhnya untuk naik dan menindih tubuhku. Aku eratkan pagutanku agar semangat syahwatnya kembali seutuhnya. Dan OK!

Sesudah beberapa saat kebuasan Pak Hermawan mulai kurasakan kembali. Kata-kata kasarnya mulai terdengar,

“Ayo anjing. Kamu nungging.. Aku jilati pantatmu yaa…” sambil mendorong tubuhku agar tengkurap kemudian mengangkat pantatku hingga aku nungging. Aku rasakan lidahnya menjalari bukit bokongku. Dia menjilat-jilat hingga mendekat ke lubang analku. Geli rasanya sangat tak tertahankan. Aku mendesis kenikmatan. Sekali lagi ini benar-benar tak pernah kubayangkan bahwa lelaki yang sangat kalem dan berwibawa itu kini berada dipantatku. Lidahnya sedang mejilati lubang taiku. Antara tersanjung dan terbakar birahiku aku mendesis hebat,

“Oochh.. Paakk.. Enak bangett.. Terus Paakk..”

Aku kelojotan namun tak bisa bergerak banyak karena dekapan Pak Hermawan pada kedua pahaku demikian ketatnya. Sesudah puas menjilati lubang pantatku tiba-tiba Pak Hermawan menarik balik wajahku. Dia kini telentang dengan mengangkat kakinya melipat ke dadanya sehingga posisi pantatnya terbuka.

“Ayoo gantian jilat anjing… jilat pantatku pelacurr.. jilatt…”

Sambil tangannya dengan kasar meraih rambutku dan menariknya hingga mukaku terbenam ke belahan pantatnya. Aku hampir muntah saat mengendus aroma pantatnya, namun tak bisa aku mengelakinya. Pantat itu benar-benar menelan wajahku dan memaksa aku untuk menciumnya. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan menerima perlakuan nafsu syahwat macam ini. Aku berontak mati-matian menolaknya.

Namun aku kalah kuat. Bahkan untuk meringkus aku dia lantas bangkit dan membanting aku agar telentang di ranjang. Dia tekan tubuh dan tanganku untuk kemudian dia bergerak dan duduk di wajahku. Tepat lubang duburnya berada pada bibirku.

“Ayoo anjing kamu.. jilaatt.. ciumi pantatku.. jilat lubang anusnya yaa…” sambil menarik-narik rambutku hingga pedih rasanya. Kembali aku dijadikan budak nafsunya. Aku tak mampu berontak. Dia terus menekan aku walaupun aku hampir pingsan karena rasa mual yang menimpaku.

Namun ternyata itu hanyalah proses.

‘Kebudakan’ku bangkit untuk menikmati dominasi tuannya. Aku bisa mengatasi rasa mualku. Bahkan akhirnyapun aku merasakan kenikmatannya. Lidahku merasakan betapa alus bibir anal ini. Kerumunan rambut analnya yang lebat kusedot dan kuisep-isep. Dan saat aku mendesakinya untuk masuk lebih dalam lagi kurasakan sepat-sepat yang sangat nikmat di lidahku. Akhirnya pula dengan penuh rakus aku melumat-lumat lubang anus Pak Hermawan.

“Aa.. dduuhh.. enak Tattii.. Lidahmu enak banget menjilati lubang taiku.. Tattii teruss ya sayaanngg.. Jilat lagi bulu-bulunya yaa.. Ciumi yaa…” rintih dan racau mulut Pak Hermawan terus berkepanjangan.

Hingga akhirnya kembali dia ingin menumpahkan syahwatnya padaku. Dia renggut kepalaku dan menggeser dan mendorong aku hingga aku telentang. Tubuhnya menindih tubuhku. Tangannya menyeruak dan melebarkan selangkanganku. Kemaluannya dengan pasti diarahkan ke liang vaginaku. Pak Hermawan sangat bernafsu untuk ngentot memekku.

Hanya dengan desakan-desakkan kecil akhirnya kemaluannya menembusi kemaluanku. Lingkaran batangnya sangat menyesaki rongga vaginaku. Aku merinding merasakan nikmat yang tak terhingga. Kenikmatan yang tak mungkin aku dapatkan dari Mas Pardi suamiku.

Pak Hermawan mulai menggenjot dan memompa. Mulutnya melumati buah dadaku dan menggigir pentil-pentilnya. Aku terlontar dalan kenikmatan ke awang-awang. Rasanya seperti terbang ke angkasa tanpa batas. Aku juga mulai menggoyang pantatku mengimbangi dan mengatasi rasa gatal birahi pada dinding-dinding vaginaku. Aku rasakan kini bahwa Pak Hermawan ingin memuaskan kehausan libidoku. Lumatannya menggeser ke ketiakku. Aku memang sangat tak mampu menahan rangsangan dari ciuman dan isepan pada ketiakku. Aku langsung kelimpungan saat kurasakan betapa sedotan disertai gigitan kecil merambahi ketiakku. Badai birahiku langsung menggolak aku kembali ‘trance’.

Tak kurasakan lagi betapa lelahnya mengimbangi pompaan Pak Hermawan. Isepan dan sedotan pada ketiak membuat orgasmeku mendekat dengan cepat. Kurasakan vaginaku mengalirkan dengan deras cairan birahiku. Aku mengeos menderita oleh kocokkan kemaluan Pak Hermawan. Kini aku yang ganti merengguk kepalanya. Kuremas rambutnya hinga pedih. Dan sepertinya serigala yang kebingungan untuk melepaskan raunganya tanganku berpindah meremas punggungnya. Dan saat-saat orgasme itu merambati saraf-sarafku tanpa ragu aku menghujamkan kukuku ke punggung Pak Hermawan. Aku tak mampu bertahan lagi. Dengan teriakan histeris aku melengking,

“Aacchh.. aadd.. duuhh enak bangett.. Pakk.. Enak banget kontol Bapaakk.. Teruss Paakk…” sambil pinggul dan pantatku bergoyang histeris tak keruan. Aku mengangkat-angkat pantatku tinggi-tinggi menjemputi kemaluan Pak Hermawan agar menusukku lebih dalam lagi ke rahim vaginaku. Dan…

“Ammppuunn.. Pak Heerr.. Aamppunn…” tanganku menghunjam keras menusukkan kukuku ke daging punggung Pak Herman menyertai pelepasan orgasmeku. Kuhentak-hentakkan kepala dan rambutku awut-awutan. Keringatku mengucur deras di ruang AC dingin ini. Aku merasakan kenikmatan tak terhingga saat kurasakan nikmat itu menjalar menelusuri saraf-saraf birahi di seputar selangkanganku.

“Ammppuunn.. Pak Hermawann..”

Rupanya Pak Hermawan belum juga mendapatkan kepuasan puncaknya. Dia kencengin pompaannya sambil meracau entah apa. Yang kurasakan kini betapa pedih sesudah orgasme masih mendapatkan tusukkan-tusukkan kemaluan sesak punya Pak Her ini. Aku begitu lelah. Aku tak mampu lagi menggoyang untuk membantu Pak Hermawan. Namun ternyata itu tak menghalangai ejakulasinya. Bagai singa lapar dia berteriak menyertai muncratnya air maninya di liang vaginaku. Kurasakan cairan panas tumpah menyembur rongga kemaluanku.
Belum usai muncrat Pak Hermawan mencabut kontolnya. Kedutan-kedutan besar masih terus dengan menyemprotkan air maninya ke perutku, pahaku, jembutku, dadaku. Dia ingin aku kembali menjilati kontolnya agar bersih dari lengket sperma di batangnya. Namun aku telanjur kelelahan yang amat sangat.

Akhirnya aku benar-benar lunglai karena lelahku. Aku tak lagi berpikir macam-macam. Rasa kantuk yang hebat karena kelelahan melanda diriku. Dalam keadaan bugil aku terlena..

Entah berapa lama tertidur. Aku terbangun saat kurasakan lidah Pak Hermawan mengecupi perutku dan menjilati spermanya sendiri yang tercecer. Aku malas untuk membuka mata. Kubiarkan dia terus menjilat dan aku menikmati lata lidahnya pada perutku yang kemudian turun, turun, turun.. teruss turun..

Pak Hermawan membersihkan seluruh cairan kentalnya yang tercecer di ‘jembut’ku. Lidahnya juga semakin menjalar menepi ke bibir vaginaku. Mungkin dia igin menyedot kembali semua yang dia tumpahkan tadi. Namun.. Tiba-tiba aku merasakan hal yang agak ganjil.

Bukankah Pak Hermawan tak berkumis dan jambang? Kenapa aku merasakan bibir yang merangseki vaginaku kini membawa penuh bulu atau kumis. Ah, akhirnya aku membuka mataku dan kulihat seseorang yang.. Acchh.. Ternyata dia adalah Mas Barus. Bagaimana dia ada disini? Dan telah berbugil pula? Dimana Pak Hermawan sekarang?

Berapa lama aku tertidur sehingga tidak menyadari apa yang telah terjadi? Rupanya saat aku terlena tadi Mas Barus datang dan Pak Hermawan berkesempatan untuk pergi. Mungkinkah semua ini memang telah dirancang Mas Purnawan dan kawan-kawannya termasuk sopir taksi itu. Rupa-rupanya aku dijadikan arisan syahwat mereka? Aku digilir untuk menyuguhkan kepuasan syahwat Mas Purnawan dan teman-temannya.

“Aahh.. Mas Barruuss.. kok.. kenapa.. aahh.. bbll.. mmeemmhh…” aku tak selesaikan bicaraku karena bibir Mas Barus yang memang penuh kumis dan janggut langsung melahap bibirku. Seperti ular kobra dia melumpuhkan aku dengan pagutannya

Saat tangan-tangannya yang juga disesaki dengan bulu-bulu tubuhnya meremas dan memilin-milin buah dada dan pentilku aku tak hendak bertanya lagi. Rangsangan yang kuterima akibat gesekkan tubuhnya yang penuh bulu pula birahiku langsung kembali melanda syahwatku.

Sesungguhnya aku tak begitu peduli. Yang penting hakku bisa kudapatkan. Setidaknya Rp. 4 juta aku harus bawa pulang hari ini. Aku tetap percaya pada sopir taksi dan Mas Purnawan bahwa mereka tidak akan mentelantarkan aku. Tangan Mas Barus turun menelusuri perutku dan terus turun. Jari-jarinya menyapu sambil meremas rambut kemaluanku. Aku mendesah.. Kenikmatan syahwatiku sungguh melemparkan aku ke langit birahi tanpa batas.

Ciuman Mas Barus membuat aku melayang dalam alun nikmat. Terus terang aku belum pernah merasakan ciuman bibir berkumis dan bercambang seperti Mas Barus ini. Sejak aku mengenal lelaki sebagai pacar hingga suamiku Mas Pardi tak satupun yang memelihara kumis dan cambang. Kini aku baru tahu betapa gelitik kumis dan cambang pada bibir dan wajahku sangat merangsang hasrat syahwatku. Aku terlena. Tak lagi kurasakan lelahnya melayani Pak Hermawan. Aku terus mendesah, terkadang merintih, merasakan nikmatnya dalam pelukan Mas Barus. Aku berharap Mas Barus lebih cepat mendaki puncak syahwatnya..

“Tatii.. Kamu sangat seksii banget siihh.. Sejak tadi aku sudah tergetar oleh kecantikanmu. Aku mau jadi budakmu Tatii.. Aku telah bersihkan kamu dari sisa cairan lengket Pak Hermawan. Sangat nikmat menjilati cairan lengket itu dari memekmu Tatii.. Nggak apa-apa khan??” Mas Barus meracau seakan minta dikasihani, disayangi dan bermanja padaku.

Aku hanya mengangguk-angguk untuk menyenangkan kegundahan syahwatnya. Menjilati sperma lelaki lain yang meleleh dari memekku. Aku rasa pria ganteng ini punya kelainan seks. Akhirnya jari-jari tangannya menari di bibir vaginaku. Aku menggigit bibirku menahan kenikmatan yang melandaku. Kupeluk lebih erat punggung Mas Barus. Namun dia bergerak melepas.

Ciumannya turun melata menuruni lembah dadaku, bukit payu dara dan ketiakku. Dia melumati habis dengan meninggalkan cupang-cupang di leher, dada dan ketiakku. Aku menggelinjang hebat saat bibir berkumis itu menggesek-gesek dan menyedoti ketiakku. Adduhh.. Sungguh aku tak mampu menahan gelinjang syahwatku.

“Mass.. Bb.. Baruzz.. A.. Aampuunn..”

Dengan tangan-tangannya yang kekar dia membentangkan pahaku. Wajahnya terus merangsek ke bawah dan ciumannya mendarat di selangkanganku. Lidah dan bibirnya kembali melumati selangkanganku seperti saat aku tertidur tadi. putri77.com Kudengar suara kecup bibirnya beruntun dan sangat histeris menyergapi pori-pori selangkangan dan pahaku. Kemudian kembali tangannya meraih pahaku dan mengangkatnya hingga terlipat menyentuh dadaku. Ini membuat posisi vagina dan pantatku tengadah.

Dengan mudahnya Mas Barus mengecup-kecup lubang vaginaku dan sesekali lidahnya menyapu anusku pula. Hal ini benar-benar menjadi sensasi seksualku. Siapapun belum pernah menjilati lubang duburku. Rambahan lidah Mas Barus yang mengila pada lubang ini membuat aku seperti cacing kepanansan. Meliuk-liuk dan merentak-rentakkan pinggulku menahan kegelian birahi yang amat sangat.

“Gilaa.. Mas Baruuzz.. Apa yang kamu lakukan padakuu..”

Akhirnya kakiku menendang tubuhnya dan menahan jilatannya.

“Adduuhh.. Ampuunn…”
“Maazz.. Tati nggak tahann.. Nikmat bangett seehh…” aku meracau kegelian sembari tanganku meremasi daging bahunya. Namun dia menekan kakiku lagi agar terlipat hingga menyentuh dadaku kembali seperti sebelumnya. Dan Mas Barus dengan penuh asyiknya kembali mengecupi bibir vaginaku dan menjilat-jilat anusku.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan seseorang masuk. Kulihat Mas Purnawan telah berbugil dengan kemaluannya yang ngaceng mengkilat tegak seperti tonggak yang nancep di selangkangannya. Eeddaann.. Adakah mereka mau beramai-ramai menyantap aku??

Tanpa banyak omong Mas Purnawan mendekat ke ranjang dan menyorongkan kontolnya ke wajahku,

“Isep.. Isepp Tattii..”

Dia sorongkan kepala kemaluannya yang sangat berkilatan hingga menyentuh bibirku. Aku yang saat itu dilanda rangsangan birahi karena jilatan Mas Barus pada anusku memang memerlukan kompensasi sebagai penawar kehausan birahiku. Tanpa disuruh lagi aku langsung menganga dan menerima kontol Mas Purnawan. Aku mengulum dan mengisepinya seperti bayi yang diseseli dot ke mulutnya. Pinggul dan pantat Mas Purnawan langsung bergoyang maju mundur mendorong kemaluannya ngentot mulutku.

Kemudian yang kulihat adalah reaksi Mas Barus. Nampak matanya melotot menyaksikan mulutku yang penuh. Adeganku bersama Mas Purnawan membakar gairahnya. Tanpa ayal lagi dia langsung bangkit dan memasukkan kontolnya untuk menembusi memekku. Dia juga langsung mengenjot-enjot memompa vaginaku. Uuhh.. Benar-benar sensasional. Dua pria ganteng secara bersama ngentot dua lubangku. Benar-benar tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa ini berlangsung untukku. Aku sama sekali tak berpikir tentang Mas Pardi suamiku. Entah sedang apa dan dimana dia kini?

Yang kemudian aku kaget adalah kelakuan Mas Barus. Dengan tanpa mengendorkan genjotan kemaluannya pada memekku dia terus merangsek menindih tubuhku sambil berusaha menggapai bibirku yang sedang mengulum kontol Mas Purnawan. Nampak mulutnya juga ingin menelan kontol Mas Purnawan. Ah.. Memang dia sakit nih. Atau jangan-jangan kedua orang ini memang biasa bercinta sejenisnya. Karena yang kemudian kulihat adalah tangan Mas Pur yang cepat menjambak rambut Mas Barus dan menariknya agar bersama aku mencium atau menjilati kontolnya. Dan aku sendiri… ternyata langsung terbakar menyaksikan apa yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Memang aku sering mendengar adanya cinta sejenis sesama pria. Namun aku pikir itu mustahil kusaksikan. Dan kini aku menghadapi langsung kenyataan itu. Sambil mengerang ke-enakan Mas Barus merem melek menjilati batangan Mas Pur yang kepalanya keluar masuk mengentot mulutku.

Dan akhirnya aku kembali merasakan ejakulasi Mas Purnawan di mulutku. Air maninya muncrat berceceran di mulut dan wajahku. Aku hampir tersedak oleh derasnya cairan kental dan hangat itu saat nyemprot di gerbang tenggorokanku.

Dan Mas Barus sepertinya sedang pesta. Dia berusaha menangkap sebanyak mungkin sperma yang muncrat ke mulut dan wajahku. Dia jilati ceceran di pipi, dagu dan dekat mataku. Kemudian dia memagut mulutku. Dia sedoti air mani Mas Purnawan yang masih di mulutku dengan ganasnya. Aahh.. Begini rupanya orang kegilaan cinta sejenis.

Hari ini aku benar-benar sangat lelah dan kehabisan tenaga. Aku lunglai namun ingat bahwa kini waktunya untuk mengakhiri segalanya. Aku berusaha untuk bangun dari ranjang. Kusaksikan Mas Barus masih menjilati kemaluan Mas Purnawan.

Aku mandi air hangat di bath-up yang mewah Grand Hayyat ini hingga badanku terasa kembali segar. Kulihat waktu sudak menunjukkan jam 10 malam. Aku berbenah dan mengenakan pakaianku kembali. Mas Pur bilang agar aku membawa pakaian yang diberikannya. Woo.. Pasti aku kegirangan. Kulihat sepintas tadi merknya yang Giorgino Armani. Semua orang tahu merk itu bernilai jutaan rupiah.

Sambil menyodorkan amplop yang tebal berisi uang, Mas Purnawan menyampaikan kepuasannya akan keberadaanku bersamanya. Dia berharap bisa ketemu lagi dalam waktu dekat. Beberapa temannya ingin pesta bersama dan aku dimintanya menjadi ‘host’ yang bisa menemani mereka. Dia juga sedikit ceritakan bahwa Pak Hermawan tadi adalah pejabat tinggi yang sering memberikan bisnis padanya. Dia menceritakan bahwa sangat puas dengan pelayananku.

Saat di atas taksi pulang kubuka isi amplop itu. Kudapatkan Rp. 5 juta dalam ratusan ribu rupiah. Kudekapkan ke dadaku. Aku belum pernah memegang uang sebesar itu ‘cash’ seketika. Mungkin benar racau Pak Hermawan tadi, bahwa aku hanyalah ‘pelacur jalanan’. Aacchh..,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

MONA4D

PutriBokep

Create Account



Log In Your Account